Part 2

189 50 5
                                    

Pernah kan mendengar istilah, jangan belanja saat sedang lapar? Aku pernah, tapi untuk kasus ku di ganti, jangan sekolah kalau sedang lapar.

Karena kalau aku sedang kenyang, teman-temanku akan kelihatan sebagai temanku. Tapi kalau aku sedang lapar, aku akan melihat temanku seperti manusia normal melihat pizza berjalan.

Sepanjang hari  ini aku kelaparan. Bukan kelaparan yang membuat perut melilit tapi rasa lapar yang membuatku tidak bisa berpikir jernih. Rasa lapar yang sulit di jelaskan kecuali ke sesama vampir.

Aku merasa sangat tak berdaya, seperti di kelilingi setumpuk makanan prasmanan, tapi aku tidak tau bagaimana cara menguyah. Aku cuma bisa berkali-kali menelan ludah tersiksa tiap kali teman sebangkuku, Rosa, orang yang sialnya duduk terdekat di samping vampir; bicara apalagi mengibaskan rambutnya pendek sebahunya ke arahku.

Bau darah Rosa itu enak, samar-samar aku bisa menciumnya. Apalagi saat Rosa akhirnya mengernyit kening dan mencondongkan wajahnya padaku detik ini, "Kamu kenapa Rona?"

Aku menggeleng, mangap. Mengatupkannya lagi, mangap lagi. Menelan ludah. Kuakui aku pasti kelihatan aneh. Aku yakin Rosa pasti juga berpikir begitu, makanya ia buru-buru memundurkan wajahnya lagi, "Hari ini kamu kenapa sih? Biasanya kamu nggak sependiem ini deh."

"Kamu lapar?" Tanya Rosa sekali lagi karena aku cuma diam.

Aku tersentak, kemudian mengangguk, "Iya."

"Ya udah makan sana ke kantin. Mumpung masih jam istirahat kedua."

"Tapi aku nggak mau makan makanan di kantin." Aku meringis sedih, sampai ingin merengek seperti bayi, tapi nanti Rosa bisa-bisa jadi makin takut duduk di sebelahku.

"Terus? Ribet amat sih hidupmu? Makan kan tinggal makan."

Tapi yang mau kumakan itu kamu,-pikirku dan tentunya hanya dalam hati, "Aku makan nanti di rumah saja." Jawabku sambil kembali memikirkan bagaimana caranya aku bisa mengambil diam-diam jatah darahku di freezer kulkas, tanpa ketahuan ibuku.

"Yakin? Wajahmu pucet loh. Apa kamu tuh nggak bawa uang?"

"Aku bawa uang. Aku nggak apa-apa." Jawabku dengan agak keras. Berusaha tampak menyakinkan. Tapi itu keputusan tersalah hari ini. Yang paling salah. Karena suara kerasku ternyata menarik perhatian anak laki-laki yang baru saja berjalan di sebelah mejaku, si ketua kelas.

Emir berhenti jalan, menundukkan kepala tepat di samping mejaku, rambut nya hitam lurus tebal sedikit mengikal di potong pendek rapih, jatuh sedikit di kening di hiasi kacamata bermodel serius, menatapku dengan tatapan yang mirip wali kelasku kalau sedang menguliti muridnya yang ketahuan cabut jam pelajaran.

Tapi ia tidak sejahat itu kok. Wajahnya memang minim senyum tapi ia manusia paling baik di kelasku sampai diam-diam Emir sering di panggil Clark Kent oleh teman-temanku, terutama yang perempuan.

Panggilannya begitu, bukan cuma gara-gara jabatan yang ia sandang, ketua kelas. Bukan juga gara-gara bentukan wajah dan badannya yang mirip aktor superman, tapi karena ia memang penyelamat kelas kami.

Emir itu sumber contekan, jubir anak sekelas ke guru kelas, tukang betulin kelistrikan, alat praktikum, proyektor dan laptop guru atau anak sekelas yang ngadat. Pokoknya ia serba bisa dan lebih berguna dari anak satu kelas di jadikan satu.

Tapi titik masalah nya bukan disitu. Khusus untukku, di ibaratkan begini, Rosa adalah menu warteg porsi besar yang motonya adalah yang penting kenyang. Sementara Emir adalah menu mewah kelas tinggi yang harganya selangit, sulit di jangkau, langka dan mahal.

Bisa di bayangkan kan betapa besar siksaan rasa laparku kalau melihat Emir?

Padahal aku sudah berhasil tidak menatap Emir sepanjang hari. Berusaha mengalihkan pikiran sejauh jauhnya dari dia. Karena aku lebih suka menggigit Rosa yang kayaknya bakalan memaafkanku, -karena ia temanku, daripada menggigit Emir -aku bisa di gigit balik oleh seluruh teman sekelasku, dan sebenarnya aku tidak bisa membayangkan menggigit Emir.

Ia makanan yang agak terlalu Fancy.

Aku takut menggigit Emir, membayangkan nya saja takut. Aku takut kalau aku sampai amit-amit menggigit dia, maka level ku akan naik. Maksudnya kalau kamu sudah biasa makan tahu setiap hari. Makan dalam porsi kuli, satu tahu dengan nasi sebakul bagaimana bila tiba-tiba aku makan steak Wagyu? Aku pasti akan sulit kembali ke pola diet tahu.

Mencium aroma Rosa saja sudah menyiksa apalagi mencium aroma Emir. Tapi Emir itu temanku, ia teman sekelasku sejak kelas sepuluh. Aku berteman dengan dia. Awalnya berat, tapi lama-lama aku terbiasa. Emir juga salah satu alasan kenapa aku selalu disiplin meminum darah donorku setiap tiga hari sekali.

Aku menelan ludah sekali lagi, tanpa bisa dicegah, aku mendongak memasang wajah meringis kelaparan pada Emir. Aku ingin menerkam Emir. Tapi tidak bisa. Aku tidak bisa menghapus memorinya dan walaupun aku vampir, ototku nggak ada apa-apa nya dengan tenaga Emir si manusia super andalan kelasku.

Emir diam. Aku diam. Sunyi selama tiga detik sampai Emir tiba-tiba mengeluarkan sebungkus permen karamel dari saku kemejanya lalu meletakkannya di meja ku.

"Ini makan."

Buru-buru aku menunduk lagi, menutup wajahku dengan kedua telapak tangan, mau nangis rasanya. Aku nggak butuh permen karamel. Aku butuh darahmu. Tapi tentu saja, tidak akan pernah bisa kukatakan.

PeronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang