Part 3

149 44 1
                                    

"Nggak ada jatah darah lagi." Kata ibu dengan tegas begitu beliau melihatku pulang sekolah, langsung masuk ke dapur pucat pasi sempoyongan, "Makanya lain kali lebih hati-hati."

"Tapi darahku tumpah karena Elgar."

Bantahanku malah membuat ibuku makin muntab, "Rona! Ibu ngabisin waktu setengah hari untuk bersihin jatah darahmu yang tumpah di baju, di meja, di lantai! Mau sampai kapan kamu bergantung dengan darah donor?!"

Aku mundur dua langkah kebelakang, ibuku si vampir jadi dua kali lebih menyeramkan kalau sedang marah, "Sekarang kamu di hukum! Kamu baru boleh minum lagi sesuai jadwal mu tiga hari lagi!"

"Tapi aku haus bu..."

"Kalau gitu kamu harusnya minum darah manusia, langsung dari leher. Sesuai kodratmu."

Astaga leher, aku saja belum pernah dekat-dekat leher siapapun seumur hidup apalagi nempelin gigiku ke leher orang lain.

"Gimana kalau aku lepas kontrol Bu?" Sehalus mungkin selembuuut mungkin, aku mengancam, "Kalau aku sampai gigit orang betulan terus aku nggak bisa menghapus memori mereka gimana? Aku bisa di tangkap polisi manusia. Bisa di adili hukum vampir karena mengancam undang-undang kerahasiaan loh..."

"Ya sudah mau gimana lagi."

"Gimana lagi itu gimana?" Tanyaku ulang, setengah tak percaya.

"Ya apa boleh buat kalau kamu di tangkap." Jawab ibuku judes.

Ugh.

Akhirnya karena rencana pertamaku merayu ibuku gagal, maka aku sampai pada rencana kedua; bolos sekolah.

Hasilnya gagal juga.

Tidak ada kata bolos di rumahku. Pagi-pagi aku sudah di arak ramai-ramai oleh keluargaku. Secara spesial di antar langsung oleh kakak Dante ke sekolah. Untuk memastikan aku benar-benar melewati gerbang sekolah.

Di depan pintu kelas aku mati kutu. Bisa-bisa nya aku sebegitu positif thingkingnya berpikir bolos adalah rencana terakhir.  Padahal harusnya aku tau betul, moto keluargaku adalah, lebih baik mati daripada bego.

Tidak boleh ada vampir gagal dalam keluargaku. Terutama dalam hal akademik. Katanya mereka juga, lebih baik mati daripada menjadi vampir miskin, ngerepotin orang, bodoh, tidak sukses lagi. Padahal sebagian predikat itu sudah kusandang,- si tukang ngerepotin orang. Sepertinya keluargaku makin takut, gelarku akan bertambah panjang jadi vampir gagal, bego, tukang ngerepotin, tukang bolos pula.

Mau tidak mau aku melangkahkan kaki masuk kedalam kelas. Bau teman-temanku langsung menyergap ku seperti bau restoran masakan cina, aroma sedap, gurih, wangi, bermicin.

Yang membuatku makin stress lagi karena Rosa memilih untuk duduk di kursi paling dekat dengan Emir. Tepat di belakang Emir.

Jadi aku harus duduk dalam keadaan lapar sepanjang hari di depan orang yang di mataku bagaikan steak Wagyu berjalan? Oh ya. Dan apa aku bisa menghindar? Nggak. Salahku sendiri datang terlambat dan suka tidak suka harus duduk di meja yang di pilih Rosa.

"Ih, kamu tuh apa nggak di kasih makan sama orangtuamu atau gimana? Jawab jujur! Kamu nggak di siksa kan?" Rosa menatap wajahku lekat-lekat begitu aku duduk di sampingnya.

Aku menoleh, meringisku bahkan terlihat lemah sekali, "Nggak kok."

"Tadi kamu sarapan nggak?"

"Aku makan roti." Tapi itu nggak ngaruh, aku seperti punya lambung khusus untuk asupan darah dan lambung khusus untuk makanan normal.

"Terus kamu sakit? Kamu yakin tetep ikut pelajaran? Habis ini ada praktikum loh. Naik kelantai tiga, kamu kuat naik tangga?" Tanya Rosa disaat yang sama bel jam pelajaran pertama berbunyi.

"Iya. Aku kuat..." Pelan-pelan aku kembali bangkit berdiri mengambil jas praktikum ku dari dalam tas, berusaha memakainya, tapi rasanya susah seperti berusaha memakai jas hujan kresek lecek.

Aku sampai terduduk lagi di kursiku, terengah-engah. mengatur nafas. Teman-teman sekelasku satu persatu memakai jas praktikum dan meninggalkan kelas. Sampai hanya tinggal aku dan Rosa yang menatapku makin khawatir.

"Yakin kamu nggak apa-apa Rona? Aku serius khawatir " Suara Rosa mendadak terdengar sedikit sayup-sayup.

Aku mengangguk, berusaha memakai jas praktikum ku lagi dengan tenagaku yang tersisa, sampai tiba-tiba aku merasa seseorang mengangkat lenganku, membantuku memakai jas dari belakang.

"Emir. Kayaknya Rona sakit deh."

"Iya."

"Kamu kan ketua kelas. Bisa minta tolong kasih tau Bu Utari kalau Rona ijin kelas biologi nggak?"

Dari belakangku suara Emir tidak kalah sayup, hilang timbul dengan anehnya, "Kamu saja yang bilang. Biar aku yang bawa Rona ke UKS."

PeronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang