"Kakak berhasil menghapus ingatan orang loh dek!" Itu hal pertama yang kukatakan pada adikku dengan gembira begitu aku pulang dari sekolah.
Adikku, Elgar mengangkat wajahnya dari buku ensiklopedia tebal yang ia baca di atas sofa ruang keluarga.
"Ah masa'?" Tanya adikku skeptis.
"Iya beneran. Sumpah." Seruku ceria dan menceritakan kembali seluruh kejadian ku hari ini pada Elgar.
Sepanjang cerita reaksi Elgar datar. Adikku memang jarang peduli dengan segala pencapaianku sejak dulu. Tapi ada satu kalimat tanggapannya yang menohokku, "Ya bagus sih. Tapi yakin ingatan kak Emir benar-benar hilang?"
Aku merinding tapi buru-buru mengenyahkannya. Aku harus begitu karena nasi sudah jadi bubur, toge sudah jadi bakwan, semua sudah terjadi, bisa apalagi aku selain pasrah dan berpositif thingking karena masih ada sisi baiknya; aku kenyang.
Ternyata memang beda kenyang sungguhan dan kenyang karena terpaksa. Aku kenyang dengan bahagia tapi takut juga. Tapi benar, rasa darah Emir masih teringai di lidahku, dalam kepalaku sepanjang hari sepanjang saat. Darah tersuper enak yang pernah kuminum.
Reaksi ibuku berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Elgar, ibuku menatapku bangga. Seperti melihat anak bayi nya yang selama ini cuma bisa minum dot akhirnya berhasil di sapih. Aku akhirnya masuk masa Akil baligh. Menjadi vampir sesungguhnya.
"Mama tuh sudah bilang! Sebenernya kamu itu bisa! Semua vampir pasti bisa! Nggak mungkin enggak! Kamu aja yang selama ini terlalu penakut. Tidak mau mencoba. Makanya jangan jadi vampir yang penakut. Kamu harus jadi vampir pemberani sayang..."
Ya ampun, sayang. Sudah lama aku tidak mendengar diriku di panggil sayang. Ternyata aku bukan vampir anak tiri seperti dugaanku.
Reaksi ayahku kurang lebih sama, beliau tepuk tangan gembira saat ibuku mengabari beliau malamnya. Wajah beliau seperti hampir meneteskan air mata. Memang sebegitunya. Memang sebegitu mengharu biru keluargaku malam ini.
Pencapaianku di rayakan, aku bahagia, ibuku ayahku bangga, dan yang terpenting aku kenyang.
Reaksi kakakku, Dante, Dia nggak banyak bereaksi. Dante orang yang jarang berkomentar. Sebelas dua belas dengan adikku, Elgar. Tapi sekalinya bicara, omongannya juga sama menohoknya.
"Reaksi Emir setelah kamu hipnotis gimana?"
"Dia diam." Jawabku, di meja makan saat kami sekeluarga makan malam.
"Oh..."
"Emang seharusnya gimana?" Tanyaku takut-takut.
"Ya seharusnya begitu, diam."
Aku menggigit bibir, hati terdalamku mulai merasa was-was, "Apa ada reaksi lain yang lebih spesifik?"
"Sespesifik apa?" Tanya kakakku balik.
Mendadak seluruh keluargaku memandangku, termasuk ibu dan ayahku yang sedang menguyah brokoli, "Ya aku pingin tau aja apa ada tanda pasti Emir hilang ingatan."
"Nggak ada. Selama dia nggak teriak-teriak lari ketakutan dan kamu langsung viral sebagai vampir, berarti kemampuanmu berhasil."
Aku menghela nafas lega. Bukan cuma aku tepatnya, ayah ibuku yang biasanya tenang juga menghela nafas tegang.
"Tapi reaksi Emir tenang kan Rona?" Tanya ibuku hati-hati.
Aku mengangguk, setelah kejadian itu aku dan Emir berjalan seperti tidak ada apa-apa naik ke lantai tiga ruang laboratorium biologi.
Sepanjang hari pun, tidak ada apa-apa. Emir tidak satu kalipun menyentuh lehernya apalagi membahas topik tentang ku. Semuanya berjalan normal.
"Tapi aku mungkin menghisap darah Emir terlalu banyak. Apa nggak apa-apa?"
Ibuku menyentak rambut pendek sebahunya kebelakang dengan anggun lalu tersenyum, "Nggak apa-apa. Bekas gigitanmu juga akan hilang sendiri setelah sepuluh menit kok."
"Ibu jangan terlalu lembek dengan kakak Rona!" Potong Elgar, ia berhenti menguyah makanannya untuk berkata padaku, "Harusnya ibu bilang, kalau kakak jangan minum darah orang kebanyakan, nanti orang yang kakak hisap bisa mati!"
"Kalau sampai habis memang pasti mati. Tapi kamu seharusnya bisa mengontrol kan Rona?" Potong ayahku, "Jangan terlalu banyak. Tiga empat teguk cukup untuk kamu bertahan lebih dari seminggu. Darah manusia segar beda dari kantung darah kadaluwarsa yang membuatku cuma tahan tiga hari. "
"Yang penting kamu juga ingat, jangan sampai ada orang lain yang melihat. Harus hati-hati. Jangan sampai ketahuan. Jangan sampai lupa untuk menghapus ingatan mereka. Itu mudah kok Rona. Semudah menarik nafas. Tidak ada vampir yang tidak bisa. Jadi ingat pesan ayah karena kamu tau konsekuensinya kan Rona?"
Aku mengangguk, konsekuensinya; mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perona
FantasyIf i tell you that I love you Can I keep you forever ? This story dedicated for people who likes sweet, simple, innocent love story enjoy