Part 6

233 42 2
                                    

Dunia manusia punya pemerintah tersendiri. Begitu juga dengan dunia vampir, duniaku dan keluargaku. Ada dewan vampire. Mereka orang-orang yang memimpin komunitas vampir.

Sebenarnya, untuk mata orang awam bahkan untuk sesama vampir kami sama-sama sulit membedakan satu sama lain. Mungkin ada sedikit ciri, biasanya kami lebih pucat dan lebih menarik secara fisik untuk memikat mangsa. Oleh karena itu, dewan pemerintah memberikan tanda khusus kepada bayi vampir yang baru lahir. Tato kecil berukir matahari dengan delapan sudut di punggung.

Dalam duniaku, para anggota dewan itu bukan cuma menghitung sensus vampir tapi juga mengatur hukum. Ada peraturan tertulis maupun tidak untuk setiap vampir.

Salah satunya ada satu buku tebal yang selalu di bacakan berulang oleh orangtuaku sejak aku masih kecil. Sebagian isinya aku hafal di luar kepala.

Aku tau konsekuensinya. Tidak ada ampunan bagi orang-orang yang mempublikasikan identitas vampirnya secara terang-terangan. Kejahatan yang paling tidak terampuni sampai garis keturunan pelakunya juga akan di hilangkan.

Dalam peraturannya juga tertulis, kemampuan menghapus pikiran itu sudah pasti ada dalam setiap entitas vampir. Kemampuan yang akan muncul cepat atau lambat atau dalam kasusku agak sangat sangat terlambat. Makanya aku paham betapa senewen orangtuaku dulu dan betapa bahagianya mereka karena pada akhirnya aku berhasil.

Aku tau keluargaku khawatir, aku memang seperti bayi monyet yang di rawat dalam penangkaran seumur hidup yang begitu di lepas ke alam liar hanya bisa plonga-plongo. Aku bisa mati tanpa asupan darah, spesifiknya mati konyol.  Soalnya manusia kan ada banyak, berbagai rasa, tinggal pilih.

Tapi sayangnya itulah yang kurasakan, tikus mati di lumbung padi, Nol survival skill, begitu aku membuka pintu kulkasku sepuluh hari kemudian. Freezer kulkasku penuh makanan manusia tapi tidak ada stok kantong darah untukku.

Aku menelan ludah. Pura-pura biasa saja kemudian duduk di meja makan. Menguyah telur dadar gulungku yang terasa pahit.

"Bingung karena ayah ibu sudah nggak stok kantung darah untuk kakak ya?" Elgar si jenius nyebelin itu tersenyum ngeledek,"Kakak minum darah kak Emir aja kayak sepuluh hari yang lalu. Gampang, enak gratis. Coba aja, Kalau kakak memang bisa menghapus ingatan Emir lagi."

Aku diam, kembali menelan telurku, rasanya semakin berat, semakin pahit, semakin panik.

Disekolah, sesuai perkiraanku, baru saja aku melangkah satu langkah melewati pintu kelas, mataku menolak untuk berkerjasama. Aku menyadari selama aku masih dalam keadaan kenyang, aku masih bisa mengabaikan Emir. Tapi hari ini apa aku bisa?

Menemukan Emir itu pun tidak susah. Emir hampir selalu duduk di tempat yang sama. Kursi kedua dari belakang di sisi kanan kelas. Memakai baju seragam putih abu-abu, berkacamata formal seperti Clark Kent dan sedang sibuk bicara dengan teman sebangkunya, Gara.

Melihatnya, aku langsung terbayang sensasi darah Emir yang mengalir di tenggorokanku. Bayangan betapa enak dan segarnya darah Emir membakar tubuhku. Sampai tanpa sadar aku menelan ludah dengan muka mau nangis.

Masalahnya, aku bingung bagaimana caranya aku bisa menghisap darah Emir lagi. Aku memang tidak wajib hanya menghisap darah Emir, aku boleh-boleh saja menghisap darah siapapun. Tapi semua orang punya makanan favorit dan bau favorit. Aku juga punya selera dan hari ini aku cuma ingin makan Emir, karena ia satu-satunya darah segar yang paling enak yang pernah kuminum.

Masalah lainnya, Emir dan aku selalu di kelilingi teman kami masing-masing. Aku dan Emir berteman. Ia ketua kelas ku dari kelas sepuluh sampai sebelas. Tapi hubungan kami sebatas, rakyat kelas jelata dan ketua kelas. Aku belum pernah benar-benar mengobrol dengan Emir dari hati ke hati apalagi mengumpannya untuk hanya berdua denganku.

Kalaupun aku berhasil mengumpan Emir dengan cara yang mirip-mirip dengan kejadian sebelumnya apakah bisa kejadian kedua akan sama persis jalan ceritanya dengan yang pertama?

Masalah terpenting; kalaupun memang berjalan semulus sebelumnya, aku sangsi bisa menghapus ingatan Emir lagi. Bisa jadikan yang pertama itu hanya keberuntungan. Bagaimana kalau keberuntunganku habis? Bagaimana kalau kemarin hanya kebetulan aku bisa, dan hari ini kemampuanku pudar lagi? Aku bisa mati berdiri kalau sampai gagal menghapus ingatan Emir.

Masalah utamanya; Emir adalah sejenis orang yang baru kamu pandang sedetik saja secara diam-diam akan langsung menoleh. Balik menatapmu. Sadar kalau di pandangi tanpa menunggu kamu siap untuk bereaksi.

Dan begitulah yang terjadi sekarang.

Aku membeku. Buru-buru mengalihkan pandangan pura-pura sibuk melihat tembok kemudian balik kanan terbirit-birit jalan ke meja yang di duduki Rosa.

Kemudian sepanjang jam pelajaran pertama sampai ketiga, tidak banyak yang terjadi. Aku cuma harus terpaksa presentasi sendirian di depan kelas. Sedihnya, mataku masih terus melirik Emir dari depan kelas. Mata Emir satu dua kali membalas tatapan mataku, sisanya ia sibuk sendiri di depan laptopnya. Tidak kelihatan tertarik mendengar presentasiku.

Aku sedih karena aku mirip seperti manusia normal berusaha cari perhatian ke steak Wagyu dan di cuekin. Yang lebih sedih, satu-satunya interaksi ku dengan Emir sebelumnya (yang bukan sekedar tatapan mata) adalah ketika aku tidak bisa menyambungkan bluetooth laptopku ke audio kelas. Suaranya seharusnya sudah tersambung, tapi tidak keluar kalau kupasangkan dengan proyektor.

Sebagaimana biasanya, guru dan sebagian murid di kelasku akan langsung menyerahkan tugas mulia ini pada Emir. Emir akan selalu maju kedepan, untuk membantu siapapun yang memang butuh bantuan, bukan cuma aku. Tapi semua orang.

Saat itu tubuh Emir menggeserku yang berdiri membatu di meja presentasi. Aku menahan nafas, mataku berair, dalam lima belas detik yang terasa seperti selamanya, Emir menyentuh tombol keyboard laptopku. Mengklik entah apa, kemudian ia menoleh menunduk menatapku.

"Sudah bisa sekarang." Ujarnya kalem.

Aku menganggukkan kepala, tak kuat lagi untuk menahan nafas. Namun seketika aku menarik nafas aroma darah Emir menubruk ku. Melemahkan seluruh sistem syaraf hingga aku hanya bisa mematung di tempat seperti idiot. Padahal sebelumnya aku tidak pernah begini. Sampai aku sadar, aku sudah sampai di titik benar-benar menyesal telah mencoba darahnya.

PeronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang