6. A Surprising New World

16 9 16
                                    

Seraphine mengerjapkan mata, silau oleh cahaya matahari yang menerobos celah-celah gedung pencakar langit. Ia menguap lebar, meregangkan tubuhnya yang kaku setelah tidur di bangku taman semalam. Perutnya keroncongan, mengingatkannya bahwa ia belum makan sejak tiba di dunia manusia.

Ia bangkit perlahan, menepuk-nepuk gaunnya yang kusut. Matanya menyapu sekeliling, mencoba mencerna pemandangan kota yang mulai hidup di pagi hari. Orang-orang bergegas melewatinya, terburu-buru menuju entah ke mana, wajah mereka tertunduk menatap benda persegi panjang di tangan.

Seraphine melangkah ragu-ragu, kakinya yang telanjang menyentuh trotoar yang kasar. Ia meringis saat menginjak sesuatu yang tajam. Di Avalon, ia terbiasa berjalan di atas rumput lembut atau bebatuan halus. Dunia manusia terasa begitu keras dan tidak bersahabat.

Aroma manis menggelitik hidungnya, membuat perutnya semakin keras bergemuruh. Ia menoleh, matanya tertuju pada sebuah gerobak kecil di sudut jalan. Asap tipis mengepul dari atasnya, dan seorang pria tua dengan celemek putih sibuk menyiapkan sesuatu.

Didorong oleh rasa lapar, Seraphine mendekat. Matanya melebar melihat deretan roti dan kue yang tersusun rapi di etalase gerobak.

"Selamat pagi, Nona," sapa si penjual ramah. "Mau beli apa?"

Seraphine membuka mulutnya, tapi tak ada suara yang keluar. Ia baru sadar bahwa ia tak punya uang manusia. Di Avalon, pertukaran barang dilakukan dengan barter atau sihir sederhana.

"Aku... aku tidak punya uang," akhirnya ia berkata lirih, wajahnya memerah malu.

Si penjual menatapnya heran, lalu tersenyum maklum. "Ah, kau pasti wisatawan yang kecopetan, ya? Sudahlah, ambil saja satu roti. Anggap saja hadiah selamat datang di kota ini."

Seraphine merasakan kehangatan membanjiri hatinya. Ia menerima roti itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih banyak. Anda sangat baik."

Ia menggigit roti itu, dan seketika matanya melebar takjub. Rasa manis dan gurih menyebar di mulutnya, jauh berbeda dengan makanan di Avalon yang lebih ringan dan segar.

Sambil menikmati sarapannya, Seraphine melanjutkan perjalanannya menyusuri jalan. Matanya tak henti-hentinya bergerak, menyerap setiap detail dunia baru ini.

Ia berhenti di depan sebuah toko, matanya tertuju pada deretan benda bergerak di balik kaca. Seraphine mendekatkan wajahnya, hidungnya nyaris menempel di kaca etalase.

"Itu namanya televisi," sebuah suara mengejutkannya.

Seraphine menoleh, melihat seorang gadis kecil menatapnya geli.

"Te-le-vi-si?" Seraphine mengeja kata asing itu perlahan.

Si gadis kecil terkikik. "Iya, televisi. Untuk menonton film dan berita. Masa kau tidak tahu?"

Seraphine tersenyum malu. "Aku... aku dari tempat yang sangat jauh."

"Oh! Kau turis?" mata gadis itu berbinar. "Dari mana? Amerika? Eropa?"

Seraphine menggigit bibirnya, bingung harus menjawab apa. "Dari... tempat yang sangat, sangat jauh. Di balik hutan dan gunung."

Gadis kecil itu mengangguk-angguk, seolah memahami. "Pasti tempat yang indah ya? Apa di sana juga ada televisi?"

Seraphine menggeleng pelan. "Tidak, tapi kami punya... hal-hal lain yang indah."

Percakapan mereka terhenti oleh suara keras yang memekakkan telinga. Seraphine terlonjak kaget, refleks menutup telinganya.

"Tenanglah, itu cuma sirene ambulans," si gadis kecil menjelaskan, menunjuk kendaraan putih yang melaju cepat di jalan. "Untuk membawa orang sakit ke rumah sakit."

Seraphine mengangguk, masih sedikit gemetar. Di Avalon, penyembuhan dilakukan dengan sihir dan ramuan herbal. Tak ada suara-suara keras atau kendaraan bergerak cepat seperti ini.

Tiba-tiba, langit berubah gelap. Seraphine mendongak, melihat awan hitam bergulung-gulung di atas kota. Dalam sekejap, hujan turun dengan derasnya.

Orang-orang di sekitarnya berlarian mencari tempat berteduh. Beberapa mengeluarkan benda aneh yang kemudian mengembang di atas kepala mereka.

Seraphine berdiri terpaku, membiarkan air hujan membasahi tubuhnya. Di Avalon, hujan adalah berkah. Para peri sering menari di bawahnya, merayakan kesuburan yang dibawanya.

"Hei! Apa yang kau lakukan? Kau bisa sakit!" si gadis kecil menarik tangannya, membawanya berteduh di bawah kanopi sebuah toko.

Seraphine mengerjapkan mata, air menetes dari bulu matanya yang lentik. "Maaf, aku... aku suka hujan."

Gadis kecil itu menggelengkan kepala. "Kau aneh, tapi lucu. Oh! Namaku Lily. Siapa namamu?"

"Aku Seraphine," jawabnya, tersenyum lembut.

"Nama yang cantik!" Lily berseru. "Seperti nama peri dalam dongeng!"

Seraphine tertawa kecil, merasa geli sekaligus sedih. Jika saja Lily tahu kebenarannya.

Hujan mulai reda, menyisakan genangan-genangan air di trotoar. Seraphine menatap takjub pantulan gedung-gedung tinggi di permukaan air yang berkilauan.

"Lihat!" serunya pada Lily. "Seperti ada dunia lain di dalam genangan itu!"

Lily tertawa. "Kau lucu sekali, Seraphine. Itu cuma pantulan, bukan dunia lain."

Tapi Seraphine tahu lebih baik. Ia bisa merasakan energi samar yang bergetar di sekitar genangan itu. Mungkinkah ini juga semacam portal kecil?

Saat matahari kembali muncul, pelangi indah membentang di langit kota. Seraphine menatapnya takjub, teringat akan Jembatan Pelangi di Avalon yang menghubungkan berbagai wilayah kerajaan peri.

"Indah ya?" Lily bergumam di sampingnya. "Aku selalu suka melihat pelangi setelah hujan."

Seraphine mengangguk. "Di tempatku, pelangi punya arti khusus. Kami percaya itu adalah jembatan antara dunia-dunia yang berbeda."

Lily menatapnya kagum. "Wah, kedengarannya seperti tempat yang ajaib! Aku jadi ingin ke sana!"

Seraphine tersenyum sedih. "Mungkin suatu hari nanti, Lily. Mungkin suatu hari nanti."

Sore mulai turun, dan jalanan semakin ramai oleh orang-orang yang pulang kerja. Lily pamit pulang, meninggalkan Seraphine sendirian lagi.

Ia melangkah pelan, matanya masih menyapu sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu. Tiba-tiba, sesuatu menarik perhatiannya.

Di seberang jalan, seorang pria muda berdiri diam di tengah kerumunan. Berbeda dengan orang-orang di sekitarnya yang bergegas, pria itu tampak tenang, seolah berada di dunianya sendiri.

Yang membuat Seraphine tertegun adalah aura samar yang menyelimuti pria itu. Aura yang familiar, mengingatkannya akan sihir Avalon.

Jantung Seraphine berdebar kencang. Mungkinkah...?

Ia melangkah maju, berniat menyeberang jalan untuk mendekati pria itu. Namun, bunyi klakson keras membuatnya terlonjak kaget.

"Hei! Awas!" seseorang berteriak, menariknya kembali ke trotoar tepat saat sebuah mobil melaju kencang melewatinya.

Seraphine terhuyung, napasnya terengah-engah karena kaget. Saat ia mendongak untuk mencari pria misterius itu, ia telah menghilang.

"Kau tidak apa-apa?" orang yang menolongnya bertanya khawatir.

Seraphine mengangguk lemah. "Ya, terima kasih. Aku... aku tidak memperhatikan jalan."

Malam mulai turun, dan lampu-lampu kota menyala, menciptakan pemandangan yang memukau. Seraphine berdiri di tepi sungai yang membelah kota, menatap pantulan cahaya di air yang berkilauan.

Ia menghela napas panjang, pikirannya berkecamuk. Hari pertamanya di dunia manusia telah memberinya begitu banyak kejutan dan pertanyaan.

Seraphine mengulurkan tangannya, jemarinya menyentuh permukaan air yang dingin. Untuk sesaat, ia bisa merasakan getaran samar energi yang familiar.

"Aku akan menemukan jalanku pulang," bisiknya pada pantulan dirinya di air. "Tapi sampai saat itu tiba, aku harus belajar bertahan di dunia ini."

Dengan tekad baru yang membara di matanya, Seraphine berbalik, siap menghadapi petualangan baru yang menunggunya di hari esok.

𝐒𝐞𝐫𝐚𝐩𝐡𝐢𝐧𝐞: 𝐓𝐚𝐥𝐞 𝐨𝐟 𝐓𝐰𝐨 𝐖𝐨𝐫𝐥𝐝𝐬Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang