Waktu aku masih sangat kecil, aku ingat aku selalu cuma bisa menangis saat lapar. Lalu ibuku akan tiba-tiba datang, menarik pengasuhku. Langsung memintaku memeluk pengasuhku secepat mungkin.
Aku memeluk pengasuhku, mencoba menggigit lehernya namun pengasuhku tiba-tiba melemparku. Aku jatuh menabrak tembok. Menangis lebih keras lagi. Badanku sakit. Perutku sakit. Aku haus, kelaparan dan aku tidak tau cara menghilangkannya.
Tapi yang lebih menyakitkan adalah ekspresi pengasuhku. Pengasuhku wanita paruh baya, beliau yang biasa mengganti bajuku dari aku kecil, menyuapiku, mengajakku main, wajahnya keibuan dan baik hati. Beliau selalu menyebutku Rona anak baik. Wajah beliau sekarang ketakutan, pucat pasi, panik, sibuk memegangi lehernya yang mengeluarkan darah. Bukan lagi melihatku sebagai anak kecil baik hati yang selalu minta di gandeng saat berjalan.
Ia melihatku seperti monster.
Aku menangis lebih keras. Ibuku menggelengkan kepala, mendecakkan bibir sebelum menarik keras tangan pengasuhku yang kurus itu dan menatap matanya.
Sesaat pengasuhku terdiam. Wajahnya ketakutannya berubah kosong sebelum akhirnya beliau mengedipkan mata, menoleh menatapku, wajah ketakutannya tadi berubah menjadi wajah khawatir.
"Rona...." Panggil pengasuhku, pelan-pelan beliau beranjak, hendak memelukku yang balik ketakutan, "Kamu tidak apa-apa nak?"
Disaat yang sama ibuku berkata di belakangnya, "Jangan takut Rona... Minum! Minum sekarang atau mati."
Sekarang kengerian itu terulang kembali. Aku meringis ketakutan menatap Emir. Nafasku memburu. Aku hendak berbalik arah, tapi Emir keburu menarik tanganku.
"Rona?"
Aku menoleh, takut. Aku pasti terlihat aneh. Karena tidak pernah ada yang melihat Emir dengan wajah seketakutan aku.
"Tasmu." Ucap Emir. Ia mengangkat tasku.
"Oh." Aku menelan ludah, berusaha mengatur wajah, mengangkat kedua tanganku untuk memeluk tasku, tapi Emir mendadak menjatuhkan tasku ke lantai, tepat ke belakangnya.
"Kenapa wajahmu ketakutan Rona?" Tanya Emir. Perlahan ia menundukkan tubuhnya, hingga wajahnya sejajar dengan wajahku, "Kamu takut apa?"
Aku menggelengkan kepala, mengalihkan pandangan, melirik panik tasku di lantai di belakang punggung Emir.
"Aku mau pulang."
"Jangan...." Tangan Emir menjulur ke arahku, menutup pintu ruang kelas di belakangku dengan suara keras. Sebelum ia berdiri tegap di depanku dengan wajah datar, "Tunggu."
"Kenapa?" Aku menggigit bibir, menahan segala perasaanku, "Aku cuma mau pulang."
Tanpa mengubah ekspresi, dalam diam Emir mengeluarkan cutter dari dalam kantung celananya. Semudah menggores kertas, Emir menggores jarinya di depanku. Semudah itu. Semudah ia mengumpankan dirinya pada pemangsa.
Mataku terbelalak. Emir mengangkat jarinya yang berdarah. Darah merah kental. Mengalir pelan di jemarinya. Sementara itu dari balik kacamata, matanya menatapku tajam. Damai, tenang, kalem. Biasa saja.
Bisa-bisanya ia biasa saja sementara monster dalam diriku memberontak. Aku haus. Aku kelaparan. Aku ingin berlari pergi tapi instingku bergerak maju. Jemariku menarik bagian depan kemeja Emir. Menariknya dengan agak kasar supaya Emir menundukkan badannya padaku.
Sekarang, aku juga ingin menangis. Tapi bukan karena di lempar ke tembok. Tapi karena darah yang kuminum. Hangat, kental, manis. Darah terenak yang pernah kuminum mengalir dalam tenggorokanku. Bukan mimpi, tapi nyata.
Tapi pikiranku di ganggu oleh Emir yang tiba-tiba menarik salah satu pipiku dengan jarinya. Ia menempatkanku kembali dalam posisi berdiri tegap satu langkah dari depannya.
Aku terbatuk karena kaget dan buru-buru meletakkan telapak tanganku di depan bibirku. Linglung.
"Kamu nggak apa-apa Rona?" Tanya Emir dengan nada sekalem sebelumnya.
Aku tersentak, kesadaranku jatuh kebumi. Di hempas dengan keras.
"Sebentar." Aku buru-buru mengangkat tangan, menarik bahu Emir lagi, tepatnya lehernya, untuk melihat leher Emir. Aku terkesiap, leher Emir tampak sedikit biru, bengkak dan agak berdarah, "Maaf... Maaf Emir. Sebentar-sebentar tunggu ya. Lima menit lagi luka nya sembuh. Maaf ya aku nggak sengaja."
"Bicara lagi nanti." Ucap Emir. Ia melepaskan pegangan tanganku darinya, kemudian berjalan mundur, kali ini dua langkah dariku sambil menelengkan kepalanya sedikit kesamping, "Jangan disini."
"Tunggu, tapi aku harus hilangin ingatanmu dulu. Sini.." aku menggerakkan jemariku seperti memanggil-manggil Emir tapi kemudian aku merasa konyol sendiri karena Emir kini malah melipat tangannya di depan dada dengan satu alis naik ke atas. Detik itu aku sadar tapi jiwa positif thingking ku meronta walaupun kenyataannya sebesar gajah di pelupuk mata. Nyatanya, menerima kenyataan itu sulit, sayangnya ya.
"Sini Emir!" Aku nyaris tersandung saat mencoba melangkah maju untuk menarik kemeja Emir lagi. Agak terlalu cepat sampai Emir dengan kaget buru-buru menangkap tanganku.
"Kamu nggak apa-apa?" Tanya Emir, wajahnya khawatir, "jangan Sampai jatuh."
"Sini lihat aku!" Seruku lebih keras sampai aku kaget dengan diriku sendiri, ini tingkah paling passive aggressiveku seumurku hidupku didunia, ternyata begini sikapku saat terdesak, "Kamu lupa, lupa semua nya. Nggak ada yang kamu ingat. Pokoknya nggak ada sama sekali."
Kini aku menatap mata Emir sungguh-sungguh, mencurahkan seluruh tenaga dalam vampir yang harusnya ku punya, "Iya? Oke?"
Alis Emir seketika bertaut, "Iya?"
"Itu iya nanya atau iyanya iya? Iya tanda tanya atau iya tanda pentung?" Tuntutku, semakin kesini semakin kesana aku makin putus asa. Sampai-sampai aku menarik kerah Emir sekuat tenaga supaya ia tetap menunduk menatapku.
"Rona... Jangan tarik kerah bajuku terlalu keras. Tanganmu bisa sakit." Dengan pelan Emir melepaskan pegangan tanganku di lehernya, sementara aku lemas setengah mati.
Ya memang mati aku. Tamat sudah riwayatku.
"Kamu nggak lupa ya Emir?"
Dengan tegas, Emir menggeleng.
"Yang sepuluh hari yang lalu, kamu juga nggak lupa kan?"
"Lupa apa yang kamu maksud?"
"Yang aku bilang. Apapun yang aku bilang kemarin dan barusan."
"Aku nggak lupa apapun, Rona." Ucap Emir mendadak bibirnya yang sedari tadi bertahan datar tak tersenyum mulai menyunggingkan senyum untukku, "Aku juga nggak akan lupa kalau kamu pernah bilang kalau kamu adalah vampir......"
KAMU SEDANG MEMBACA
Perona
FantasyIf i tell you that I love you Can I keep you forever ? This story dedicated for people who likes sweet, simple, innocent love story enjoy