Prolog

173 21 17
                                    

Happy Reading🏹

Hari yang cerah menyambut pagi. Sinar hangat dari matahari menelisik setiap celah, menyapu setiap sisi kegelapan. Daun-daun di pepohonan menari dalam irama angin musim gugur, sementara burung-burung menyanyikan melodi, menambah kesan hangat di pagi hari. Namun, di balik kehangatan itu, ada sesuatu yang tetap suram di hati Halfoy.

Sudah satu tahun silam sejak kepergian Caspian, dan Halfoy masih enggan mengembalikan ingatan semua orang tentang laki-laki itu. Rasanya semakin hari ia semakin menumpuk dosa. Dosa atas kesalahan yang mungkin tidak akan pernah termaafkan oleh siapapun, terutama Savior.

Berbicara tentang Savior, laki-laki itu semakin menekuni keahliannya dalam memanah. Seperti yang terlihat pagi ini, ia melakukan latihan di pelataran kastil dengan beberapa prajurit andalan. Tidak ada satupun yang meleset, seolah objek yang jauh sekalipun dapat ia takhlukkan.

Sudah lama sekali Halfoy tidak memanah, namun kali ini ia tidak ingin ketinggalan. Ia juga melakukan hal yang sama, meskipun tidak terlalu pandai. Dan, akhirnya terulang lagi. Tangannya tergores anak panah akibat gerakan yang tidak tepat, luka kecil tapi cukup menyakitkan.

Savior segera menghampiri Halfoy dengan raut khawatir. Ia melihat pergelangan tangan Halfoy yang mulai berdarah, dan tanpa pikir panjang, ia memerintahkan salah satu prajurit untuk membawa selep dan kasa dari dalam kastil. Dengan hati-hati, Savior membalut luka itu, gerakannya penuh perhatian dan keahlian, seolah-olah ia pernah melakukan hal ini sebelumnya.

Sementara Savior sibuk membalut lukanya, Halfoy memperhatikannya dalam diam. Ia merasa seperti Deja vu. Memori yang telah lama terkubur tiba-tiba bangkit kembali—saat di mana Caspian, dengan perhatian yang sama, merawat luka di tangannya. Hanya kali ini, Caspian tidak ada. Savior telah menggantikan tempatnya, dan hal itu membuat rasa rindu yang selama ini ditahan, kini meledak tanpa bisa dicegah. Air mata mulai mengalir tanpa suara, membasahi pipinya.

Selesai membalut luka Halfoy, Savior akhirnya menyadari bahwa Halfoy menangis. Kekhawatiran muncul di wajahnya. “Hei, kenapa menangis? Apakah se sakit itu?” tanyanya dengan nada cemas.

Halfoy hanya menggeleng, namun tangisannya semakin deras, seolah rasa sakit yang sesungguhnya bukan berasal dari luka fisiknya, melainkan dari luka di dalam hatinya.

“Kalau begitu, kenapa kau menangis?” Savior bertanya lagi, kali ini lebih lembut.

Awalnya, Halfoy tidak menjawab. Ia menunduk, enggan bertemu mata dengan Savior. Tapi Savior tidak menyerah, laki-laki itu mengangkat dagu Halfoy dengan lembut, memaksa netra mereka untuk bertemu kembali.

“Aku... rindu Caspian,” ucap Halfoy pelan, suaranya nyaris tidak terdengar.

Savior mengerutkan keningnya, kebingungan terlihat jelas di wajahnya. “Caspian? Siapa Caspian?”

Pertanyaan itu menghantam Halfoy seperti petir di siang bolong. Ia seolah lupa bahwa semua orang telah melupakan Caspian, dan mendengar Savior yang sama sekali tidak mengenal nama itu, hanya membuat luka di hatinya semakin dalam. Rasanya seperti kehilangan Caspian untuk kedua kalinya, dan rasa sakit itu kini tak lagi bisa dibendung.

***

gimana awalannya?


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
𝐀𝐫𝐫𝐨𝐰 𝐨𝐟 𝐕𝐞𝐧𝐠𝐞𝐚𝐧𝐜𝐞 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang