Aku mematung. Berharap teman sekelasku, guru atau siapa aja boleh tiba-tiba muncul, berteriak surprised atau bercandaaa...
Tapi nggak ada. Kemana murid lain dan guru di saat aku membutuhkannya?
Aku tau aku harus lari duluan dari Emir. Seharusnya aku menyambar tas dan lari keluar. Aku harus segera pulang lalu bilang semua ini ke ayah dan ibuku, semuanya. Aku setakut itu. Karena aku sudah di cekoki peraturan vampir dari kecil dan aku tau betul seserius apa kesalahan yang telah kulakukan.
Tapi langkah kaburku di dahului Emir. Ia menarik pergelangan tanganku. Mencengkeramnya dengan keras. Aku bingung, apa Emir nggak takut padaku? Aku kan vampir. Harusnya aku seram di matanya. Aku bisa menghisap darahnya sampai mati. Tapi kenapa aku yang malah takut padanya? Singa takut pada kelinci, ini salah.
"Aku antar kamu pulang."
"Nggak mau." Aku menggeleng keras-keras tapi lima detik kemudian aku berubah pikiran.
"Sebentar. Aku nggak jadi nggak mau." Aku berhenti menggeleng. Diam sesaat, berpikir sebelum mendongakkan kepala, "Aku mau bicara."
"Ya. Memang harus bicara." Jawab Emir santai seperti kami akan membicarakan tentang pelajaran.
"Oke." Aku menunduk dan ngangguk, "Aku boleh di antar pulang."
"Iya." Emir ikut mengangguk-angguk, mengambil tasku dari lantai dan menyerahkannya padaku, "Ayo."
"Tapi aku bahaya loh."
"Iya."
"Aku masih agak lapar." Ancamku. Aku berusaha terlihat seberbahaya mungkin. Supaya Emir tau ia tidak berhadapan dengan sembarang vampir.
"Ya, secukupnya ya?" Kata Emir
Aku menggertakkan gigi, harga diriku jatuh, "Maksudnya bukan aku mau minta lagi."
"Iya, Rona." Emir berkata dengan pelan, menepuk tas punggungku yang baru saja kupakai sambil membuka pintu kelas terlebih dahulu, seperti memaksaku segera berjalan, "Kalau memang terpaksa, tidak apa-apa."
"Nggak. Nggak mau lagi." Seruku.
"Oke." Mendadak Emir kembali mengeluarkan senyum, senyum baik hati. Senyum yang jarang ia keluarkan. Senyum ketua kelas idaman yang selalu mengayomi warganya. Kebaikan yang membuat ku kembali goyah, "Tapi kamu memang kelihatan lebih sehat."
"Iya." Disisi lain aku ingin kelihatan jahat. Bicara jahat. Aku ingin tampak menyeramkan, aku ingin kelihatan menakutkan, judes, mengintimidasi untuk Emir tapi aku tidak bisa, seharusnya aku bisa. Keluargaku adalah contoh yang baik bagaimana vampir harusnya bersikap, cuek, judes dingin, harusnya kami tidak punya hati untuk makanan kami, "Soalnya aku sudah agak kenyang."
"Suatu saat nanti tetap kuberi kalau kamu butuh. Tapi sebagai timbal baliknya memang kamu bisa kasih aku apa?"
Seketika aku memekik dalam hati, salah sendiri kamu belagu Rona, ini kan salah satu yang kamu takutkan kan? Balas jasa. Timbal balik. Harga untuk tutup mulut.
Dengan hati-hati aku menjawab, "Aku nggak yakin bisa kasih apa-apa yang kamu mau."
Mendadak Emir yang berjalan di lorong tepat di sebelahku menyeringai. Senyumnya berubah aneh sampai aku merasa semakin terancam.
"TAPI EMIR MEMANGNYA JANJI NGGAK AKAN BILANG SIAPAPUN KAN!?"
Seringai Emir berubah menjadi tawa. Masih sambil tertawa, Emir menunduk menatapku, berhenti tertawa untuk memberikan seringai lain tapi kali ini seperti menahan senyum, "Apa yang vampir bisa sementara manusia tidak?"
Aku menggigit bibir, wajahku berubah merah padam saat mengakui dengan jujur, "Kalau aku bisanya cuma ngisap darah."
"Terus bedanya kamu dengan nyamuk apa?"
Aku tersentak, tanpa sadar mataku mulai merah, "Kayaknya sama, tapi janji ya jangan bilang siapa-siapa karena aku bisa mati....."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perona
FantasyIf i tell you that I love you Can I keep you forever ? This story dedicated for people who likes sweet, simple, innocent love story enjoy