Part 10

162 41 5
                                    

"Maaf, aku nggak bermaksud buat kamu takut." Ujar Emir, sepanjang jalan selama tiga menit selanjutnya hingga kami sampai di depan gedung parkir sekolah, "Kamu mau makan es krim? Tapi kamu bisa makan es krim kan? Atau kamu mau darahku lagi?" Tanya Emir pelan dengan kasualnya, seperti sudah biasa, seperti cuma menawariku es krim.

Aku terperangah. Bibirku terkunci. Mataku basah. Justru karena nada biasa di suara Emir, aku lebih sedih. Lebih takut. Aku takut pada diriku sendiri. Aku tau, Emir memang selalu baik dengan semua orang. Dia suka menolong. Manusia paling baik hati di kelas. Kenapa harus Emir yang kuminum darahnya.

"Apa kamu selalu kayak gini ke semua orang setelah darahnya kamu minum?" Tanya Emir lebih pelan dari sebelumnya, hampir berupa bisikan yang memecah keheningan dalam langkah kami, ketika ia membuka pintu penumpang mobil sedan tua nya untukku.

Aku bertahan diam, menunggu sampai Emir juga duduk di kursi mobil, memegang stir lalu menutup pintu.

"Rona?" Panggil Emir sekali lagi dan ia mengulangi pertanyaan yang sama.

Aku menarik nafas, mengatur hatiku, nada suaraku, "Nggak. Aku nggak pernah minum darah manusia langsung sebelumnya."

"Sama sekali?"

Aku menggeleng, "Sama sekali."

"Lalu selama ini cara kamu bertahan hidup bagaimana?"

"Ayahku dokter, ayah bisa menghilangkan ingatan orang jangka pendek. Beliau juga bisa masukan ingatan palsu. Jadi ayah sering hipnotis beberapa orang untuk ngambil sisa stok darah kadaluwarsa di Rumah sakit."

"Tapi aku nggak bisa kayak ayahku. Keluargaku. Vampir normal harusnya bisa semua. Tapi aku nggak bisa. Padahal itu kemampuan dasar vampir. Kata mereka, vampir bego aja pasti bisa, berarti tingkatan ku lebih bego dari vampir terbego......"

"Makanya dari kecil aku selalu minum darah donor kadaluwarsa tiga hari sekali. Rasanya nggak enak. Kayak makan tahu basi. Tapi aku bisa mati kalau tidak minum itu tiga hari sekali."

"Tapi kamu akhirnya coba untuk minum darahku hampir dua Minggu lalu."

"Karena jatah darahku pagi itu nggak sengaja di tumpahkan adikku, Elgar. Aku benar-benar nggak sengaja. Maaf ya Emir?"

"Lalu kenapa kamu milih minum darahku?"

"Tadinya aku nyaris gigit Rosa, darah Rosa juga kayaknya enak kok. Tapi...." Aku menoleh menatap serius Emir sebelum mengakui dengan ragu, "Apa karena Emir baik makanya darah Emir lebih enak ya?"

"Apa?" Emir mengerjapkan mata, balas menatap mataku disaat yang sama jemarinya memutar kunci mobil hingga bunyi mobil bergetar menyala terdengar.

"Kamu enak Emir. "

"Hm..." Emir seketika mengerutkan kening, "Oke."

"Tapi memang enak."

"Iya, oke." Potong Emir dan dengan cepat ia melanjutkan berkata, "Aku nggak akan bilang siapa-siapa."

"Janji?"

"Katamu, kamu bisa mati kan?" Emir akhirnya berhenti menatap mataku, ia mengalihkan wajahnya ke depan, mendengus, "Jangan sampai kamu mati."

"Beneran Emir nggak akan bilang siapa-siapa?"

"Nggak." Emir menggeleng, "Nggak akan ada yang percaya juga."

"Tapi aku serius Emir, janji ya? Dewan vampir pasti nggak akan bunuh aku aja. Ayahku, keluargaku semua. Mungkin kamu dan keluargamu juga."

"Ada dewan vampire juga ya? Oh."

"Bukan 'oh', harusnya reaksimu nggak begitu. Harusnya kamu takut. Gimana kalau sepuluh hari lagi aku lepas kendali? Gimana kalau darah Emir kuminum sampai habis? Atau darah Emir kuminum terlalu banyak? Emir bisa sakit."

"Kamu tau kalau aku bisa sakit kan?" Ujar Emir dengan sabar.

"Tapi bukan berarti aku nggak akan pernah lepas kontrol."

Lagi-lagi Emir tersenyum singkat, senyum yang tidak pantas kudapatkan dari seseorang yang kuseret dalam permainan berbahaya, "Secukupnya, Rona."

"Tapi aku juga mungkin nggak bisa kasih apa-apa yang Emir mau sebagai gantinya."

"Belum tentu." Balas Emir sebelum ia menambahkan berkata, "Asal jangan gigit orang lain."

"Kenapa nggak?"

"Katamu kamu nggak bisa hilangin ingatan kan? Kamu bisa menempatkan dirimu dalam bahaya lain yang bisa bawa aku juga, Rona. Tolong juga janji untuk lebih hati-hati."

PeronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang