8. Family Comes First

817 139 75
                                    

Setiap berkedip aku merasakan mataku panas dan kepalaku luar biasa sakit seperti dipukuli palu sekencang-kencangnya. Aku juga sadar badanku mulai meriang, nggak berkeringat sama sekali padahal sibuk aktivitas dari pagi.

Selain itu, tenggorokanku pun jadi lebih kering, meski sudah terus kubasahi dengan air. Malam ini saja aku minum lebih dari tiga botol air mineral ukuran 500ml.

Jangan sakit Ta. Kuat Kuat Kuat. Harus sehat, jangan tumbang.

Semakin kutahan, ternyata makin berat dan pusing. Aku susah payah berdiri menemui Bang Sabda di luar tenda pengisi acara. Dia sedang mengobrol dengan tim keamanan, untuk lebih memperketat pengamanan sekitar tenda kami. 

Malam ini aku akan tampil di konser ulang tahun Kota Serang. Acara kali ini lumayan besar, mengundang berbagai penyanyi solo dan grup band ternama Indonesia. Aku cuma ikut nyempil untuk menyanyikan tiga lagu nanti, tapi antusiasme penonton sungguh luar biasa. Beberapa saat lalu, tiga orang tanpa ID-Card menyusup masuk ke tenda kami dan merekam persiapanku sebelum menyanyi.

Saat ketahuan, mereka mengaku fans dan cuma ingin foto denganku. Tapi Bang Sabda curiga dengan gerak-gerik mereka yang diluar batas, hingga langsung mengambil tindakan tegas sampai melibatkan tim keamanan.

Karena huru-hara yang sempat terjadi itu, aku jadi takut-takut keluar tenda tanpa pengamanan. Saat ini aku cuma sekedar menyembulkan kepalaku keluar dan memanggil Bang Sabda. "Abang."

Laki-laki itu menoleh dan memintaku tetap di dalam tenda. "Bentar Ta, Gue masuk habis ini."

Aku segera menarik lagi kepalaku, kembali duduk sabar menunggu Bang Sabda masuk tenda. Tim MUA dan fashion stylist-ku dari tadi sebenarnya khawatir melihat wajahku yang semakin pucat. Anak-anak band juga berkali-kali memastikan apakah aku tetap aman bernyanyi di atas panggung nanti. Aku cuma tersenyum mengancungkan jempol agar mereka lebih tenang.

Akhirnya Bang Sabda masuk, beberapa detik setelah aku merebahkan kepala di atas meja. Dia bergegas mendekat ke tempatku duduk, dan berjongkok di sampingku.
Telapak tangannya menyentuh keningku. "Gimana? Kamu kuat nggak nyanyi?"

Kamu? Bang Sabda ngomong Kamu?

Kayaknya aku salah denger deh, jangan salah paham Ta. Jangan mikir aneh-aneh, ini cuma halusinasi karena demam.

"Kuat kok, tapi aku nyanyi sambil duduk aja ya? kepalaku pusing banget Bang."

Kali ini dia menggenggam tanganku cukup lama. Aku kaget tentu saja, tapi nggak kuat mengelak. Ini hal langka yang membuatku membeku seperti patung. Bang Sabda merendah untukku dan melakukannya terang-terangan di depan anak-anak tim.

Tangannya juga mengelus kepalaku beberapa kali sebelum ia bangkit berdiri untuk mendiskusikan sesuatu dengan anak-anak band. Setelahnya ia kembali ke sampingku. "Ganti songlist ya, nyanyiin lagu ballad aja biar kamu bisa duduk. Aku tinggal bentar buat ngabarin ke panitia. Kamu makan dulu terus minum obat ya." Bang Sabda mengatakan itu sambil tangannya sibuk memindahkan kotak nasi serta sepiring pisang ke depanku. Kemudian mengeluarkan tablet obat dari tas kecilnya.

"Ta, ayo paksa makan, terus telen obatnya ya. Aku tinggal bentar." Dia mengatakan itu sambil mengelus pipiku. Aku masih dalam kondisi sadar nggak sih?

Bang Sabda sekarang beneran ngomong pakai aku-kamu ke aku? terus dia ngelus kepala, keningku pipiku, tadi juga megang tanganku. Maksudnya apa Ya Allah.

Ini makin di luar batas Bang. Habis dari Salatiga bulan lalu, aku nggak bisa lihat Bang Sabda kayak dulu lagi. Aku makin ngerasa butuh Bang Sabda.

SABDA TITAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang