Part 13

177 43 6
                                    

Aku dikejutkan wajah sumringah ibuku saat aku membuka pintu rumah. Ibuku ternyata menungguku pulang dan begitu mendengar suara pintu di buka. Ibuku langsung berlari menyambutku.

"Siapa yang darahnya kamu minum hari ini Rona?" Tanya ibuku semangat.

Aku terperanjat mundur. Tidak kuat dengan energi excited ibuku, "Emir." Jawabku jujur.

"Emir? Kenapa Emir lagi? Dia ketua kelas yang kamu ceritakan sepuluh hari yang lalu kan?"

"Iya." Aku mengangguk, tanpa sadar menyentuh pipi. Pipiku pasti semerona itu sampai ibuku langsung tau dalam sekilas kalau aku sudah meminum darah.

"Jangan terlalu sering minum darah orang yang sama." Kata ibuku, senyum beliau sedikit pudar tapi raut bahagianya masih sama, "Masih banyak manusia lain, Rona. Kamu harus coba rasa yang lain..."

Rasa yang lain.

Rasa.

Begitulah manusia untuk kakakku, mudah mati. Dan beginilah bagi ibuku, manusia tidak lebih dari varian rasa. Seperti deretan Snack di aisle supermarket.

Adikku, Elgar ikut menambahkan berkata begitu melihatku melangkah masuk ke ruang keluarga, "Aku denger barusan, kak Rona ternyata benar-benar minum darah kak Emir lagi ya? Kakak nggak bosen?"

Aku menggeleng. Padahal mereka adalah keluargaku yang selama bertahun-tahun melihatku minum darah kompos dan tidak pernah satu kalipun mendengarku bilang bosan.

"Kak Emir ketakutan nggak? Nggak enak minum darah orang yang takut. Berantakan... Darahnya nyecer kemana-mana." Lanjutnya.

"Nggak." Jawabku sambil menundukkan wajah, perasaanku  campur aduk, "Anehnya, Emir nggak takut."

"Kakak hebat dong." Kata Elgar, "Bisa buat itu tenang."

Itu,-kata ganti benda. Bagiku Emir bukan keripik kentang, bukan bekal yang bisa sewaktu-waktu kumakan. Tapi bagi keluargaku, manusia tidak dalam kategori dimanusiakan. Bukan benda hidup. Cuma komoditas bahan pangan. Karena tidak tahan, aku berbalik badan, berjalan menuju kamarku. Menutup pintu kemudian duduk melorot di lantai.

Aku kenyang. Tapi aku tidak bahagia.

Esoknya. Aku berangkat sekolah sepagi mungkin. Aku orang pertama yang masuk ke dalam kelas tapi langsung keluar lagi untuk duduk di kursi panjang kayu di depan kelasku. Menunggu Emir datang.

Berbanding terbalik denganku, Emir yang biasanya datang pagi, hari ini datang paling terlambat. Hampir mendekati bel masuk. Aku melihat Emir berjalan menaiki tangga sambil membantu mengangkat tas laptop milik guru matematika kelasku yang sudah sepuh.

Melihat Emir aku langsung bangkit berdiri. Wajah Emir masih sepucat kemarin. Tapi Emir hanya membalas tatapanku sekilas dengan datar tanpa kata.

"Rona." Sapanya, ia mengangguk dan aku langsung di lewati begitu saja.

Sekejap aku mematung. Ini bukan skenario yang kubayangkan. Dalam bayanganku, Emir kemungkinan besar tidak masuk sekolah. Atau kalaupun Emir datang, seharusnya... Aku sendiri tidak yakin seharusnya bagaimana. Emir lari ketakutan melihatku? Atau aku yang seharusnya lari menghindar? Atau kami mengobrol membahas harga darahnya yang harus ku bayar?

Reaksi Emir persis dengan reaksinya sepuluh hari yang lalu di saat aku belum tau kalau kemampuan menghilangkan ingatanku sebetulnya gagal total. Cara yang sama. Sikap yang sama. Acuh yang sama.

Sebenarnya ini langkah awal yang bagus. Kalau aku memang mau totalitas menjauh dari Emir.

Karena aku berbahaya.

Dan kalau misalnya ini sebuah permainan sebenarnya aku juga bisa memainkan permainan ini mengikuti Emir. Meniru peran yang sama. Berpura-pura acuh. Tidak pernah ada apa-apa.

Sayangnya, aku tidak bisa.

Jadi aku menelan seluruh harga diriku. Memberanikan diri untuk berjalan ke meja paling belakang,-tempat Emir duduk hari ini, di jam istirahat kedua.

Emir mendongak ketika langkahku semakin dekat. Ia menatapku tajam dari balik kacamatanya. Ekspresi nya tersembunyi karena ia meletakan punggung tangannya seperti orang berpikir di depan bibir.

"Ini buat Emir." Aku berdiri di depan meja Emir, mengeluarkan seluruh barang yang dari pagi ku simpan di dalam kantung rok ke atas meja. Permen, coklat, vitamin dan sekotak tablet penambah darah.

Lima detik sunyi senyap.

Aku menelan ludah canggung sementara jari Emir mengambil sekotak tablet penambah darah. Bibirnya perlahan tersenyum. Senyum ramah yang kukenal. Tatapan damai dan kalem yang sama, "Ini obat penambah darah saat menstruasi yang di bagi waktu penyuluhan dinas kesehatan di sekolah kan?"

Aku mengangguk, wajahku merona, "Iya."

Senyum Emir berubah menjadi tawa singkat, "Namamu cocok dengan warna pipimu sekarang, Rona.  Perona Senja."

PeronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang