Hari pertama jadi pengangguran, Dara bersiap untuk pergi ke rukonya di pusat kota. Kata sang ibu dulu ruko itu milik nenek buyutnya, sudah ada sejak jaman penjajahan, namun sudah beberapa kali direnovasi. Terakhir sebelum keluarganya mengalami kecelakaan.
Ngomong - ngomong soal keluarga Dara, ayah dara sendiri adalah seorang anak rantau, bertemu ibu dara saat kuliah di Kota ini, lalu membangun bisnis kecil - kecilan hingga bisnis itu berkembang pesat.
Nenek dan kakek Dara hanya memiliki satu anak yaitu, Wulandari, ibu Dara sendiri. Yang masih hidup hanya saudara dari kakek nenek Dara alias sepupu ibunya. Kadang mereka menghubungi Dara sekedar menanyakan kabar dan mengajak kumpul keluarga.
Sementara ayah Dara di Pulau sebelah memiliki seorang adik perempuan. Kakek dan nenek dari ayahnya sudah lama meninggal. Tantenya itu kurang memiliki simpati pada Dara karena dulu pernikahan Wulandari dan Hari, ayah Dara, tidak direstui. Meninggalnya ayah Dara membuat kerabat satu - satunya dari ayahnya itu semakin membenci Dara.
"Pagi, Bu Indah," sapa Dara pada penyewa ruko miliknya.
Ya, ruko ini sudah dibalik nama menjadi miliknya sejak empat tahun lalu. Karena memang Daralah pewaris satu - satunya.
"Pagi, Mbak Dara," sapa Bu Indah yang sedang menggoreng gorengan.
"Nggak ada kendala kan, Bu In?"
"Aman, cah ayu, setiap hari ramai, hehe."
Ruko ini di lantai satu digunakan untuk berjualan nasi pecel dan soto. Sementara yang atas atau lantai 2 digunakan untuk studio foto.
"Saya ke atas dulu ya, Bu, Bang Arienya ada kan?" Tanya nya sebelum menaiki tangga.
"Ada, Mbak, kayanya lagi ada tamu."
Dara mengangguk paham, lalu menaiki anak tangga satu persatu. Setelah tangga ia akan bertemu dengan sebuah pintu. Dara menekan bel di samping pintu tersebut.
Tak lama seorang pria berwajah khas orang timur dan berambut keriting keluar.
"Aduh, Nona, saya kira siapa," ucapnya dengan logat khasnya, "ayo masuk!"
"Cuma mau ngecek ruko aja bang, kali aja amit - amit ada yang rusak."
"No problem. Everything is good. Cuma saya terganggu dengan Bu Indah, Nona."
Dara kaget, "hah!? Kenapa?"
"Bau sotonya bikin saya lapar terus," ucapnya bercanda, "haha, duduk, Nona, kenapa berdiri saja?"
Dara mundur karena diyakini sejauh tiga langkah dari tempatnya berdiri adalah sofa.
"Aaaaaa!" Teriaknya.
"Aaaaa!" Teriak suara lain di bawahnya.
"Aduh, Nona, saya minta kau duduk di kursi yang lain, bukan menduduki kawan saya!" Ucap Bang Arie sambil menahan tawa.
Setelah berpandangan beberapa detik Dara baru sadar ia sudah menduduki seorang pria yang tidur dikursi.
"Sorry, sorry, saya nggak sengaja–"
Buru - buru ia mengangkat bokong sintalnya dan berpindah tempat.
"Aduh, Mas, maaf ya saya nggak lihat ada Masnya disitu."
"Hmm," jawab pria itu malas.
"Aduh, Sabian Jaya itu nanti Nona Dara bisa takut kalo kau pasang muka macam itu!" Ucap Bang Arie.
Bagaimana tidak? Bian memasang wajah mode sangarnya karena tidurnya terganggu. Di kereta ia tidak bisa tidur setelah makan karena penumpang di kursi depannya membawa balita yang rewel.
"Sudah ya, kalian jangan baku hantam di sini, beta pesankan soto dulu!"
Brakk!
"Saya Dara, Mas, yang punya ruko ini," ucap Dara yang tidak enak karena sejak tadi Bian juga diam.
"Bian," jawab Bian singkat.
Karena melihat wajah Bian yang tidak minat melanjutkan obrolan, Dara membuka hapenya, cuma scroll - scroll aplikasi toktok aja sih. Ya habis, cowok ganteng di depannya ini kaku banget kaya triplek..
~Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving My Ladylord
Short StorySebatang kara √ Jomblo √ Pengangguran √ Itu yang Dara rasakan saat ini. Kehilangan orang tuanya ketika masih dibangku kuliah, diselingkuhi dan dicampakan sang kekasih, lalu tidak lama ia kena PHK. "nasib gue gini amat," tuturnya pada dirinya sendi...