🍁
🍁"Cah ayu, ayo keluar dari kamar. Kita makan sama-sama," kata Mbok Dami.
"Baiklah, Mbok," sahutku.
Aku bergegas keluar dari kamar setelah beberes sebentar, menuju ke tempat yang lainnya berkumpul. Dimana Siman Karto, Simbok Dami dan Gendhis—mereka merupakan keluarga Jaya, sekaligus mertua dan adik ipar Larasati.
Tak terasa sudah tiga hari berlalu aku menumpang di rumah orang tua Jaya, lantaran tidak mungkin aku menginap satu rumah dengan sepasang suami istri umur jagung itu. Tapi untunglah rumah Jaya dan Larasati ternyata bersebelahan. Maka, apabila aku ada perlu sesuatu bisa dengan cepat menemui mereka berdua.
Ngomong-ngomong tentang pasangan suami istri yang baru berumur jagung itu, kemarin Gendhis—adiknya Jaya yang kisaran umurnya sama denganku—bercerita panjang lebar tentang mereka. Singkatnya begini, kata Gendhis mereka berdua memang sudah menjadi sahabat sejak kecil, karena orang tua mereka juga bersahabat walaupun berbeda desa. Dan mereka juga sudah terikat perjodohan keluarga sejak kecil.
Justru yang membuatku geleng-geleng kepala yaitu, saat Gendhis bilang bahwa keduanya sejak kecil juga sering bertengkar. Setiap bertemu, pasti ada saja yang diperdebatkan. Biang keroknya sih Jaya. Sedangkan menurut Gendhis, Larasati itu perempuan yang mempunyai tingkat kesabaran yang begitu tipis seperti udara yang lewat. Mereka berdua benar-benar pasangan serasi, pikirku kala itu. Bagaimana tidak? Satunya pemarah dan satunya tukang jahil, pasti rumah mereka akan terasa selalu hidup. Malah aku penasaran bagaimana anak mereka nantinya, apakah meniru ayahnya yang jahil atau justru mendukung ibunya untuk meringkus Jaya?
"Nimas Anantari, tadi Mas Jaya sama Mbak Larasati menyuruhku bilang ke Nimas, kalau setelah makan mereka ingin bertemu," Gendhis memberitahuku ketika aku sudah duduk di sampingnya.
"Gendhis, bukankah sudah kuulangi berkali-kali. Panggil saja aku Anantari," Berkat ucapanku, Gendhis malah nyengir seperti kuda. "Ah ya, memangnya ada apa mereka berdua ingin menemuiku?" imbuhku.
Gendhis mengangkat kedua bahunya. "Entahlah, aku juga tidak tahu."
Aku harap kali ini mereka mendapatkan petunjuk tentang Raka Abinaya.
Selama tiga hari itu juga, aku belum mendapatkan petunjuk apapun tentang Raka Abinaya dari Jaya maupun Larasati. Kami bertiga memang saling berbincang. Apalagi aku dan Larasati, aku rasa kamu semakin dekat. Tapi, saat aku menyenggol pembicaraan tentang Raka Abinaya, mereka berdua pasti akan mengalihkan pembicaraan. Mau tidak mau aku menahan pembicaraan tersebut, sampai keduanya yang memulai. Aku percaya pada perkataan Jaya waktu masih berada di kedai makan, aku janji akan mencari saudaramu juga.
Tadinya aku tidak tahu mengapa Jaya dan juga Larasati begitu terkejut mendengar Raka Abinaya tidak bersembunyi di lembah. Aku baru tahu, bahwa keberadaan Raka Abinaya sebagai putra sang pengkhianat kerajaan sudah terungkap. Dia adalah buronan di sini. Tapi meski begitu, aku yakin satu hal. Raka Abinaya pasti aman karena bersembunyi bersama Ayah dan Ibu. Bukankah Raka Abinaya yang bilang sendiri bahwa Ayah dan Ibu bersembunyi di tempat yang sangat aman—mungkin lebih aman dari lembah terpencil—makanya dia memilih tidak bersembunyi di lembah. Aku sangat yakin dia sedang memikirkan rencana kedepannya bersama kedua orang tua kami selama tiga tahun ini. Aku yakin itu!
Akan tetapi, ketika aku mengungkapkan pemikiranku itu pada Larasati dan Jaya. Mereka justru menatapku dengan tatapan aneh. Apa mereka tidak percaya padaku?
Atau aku yang tidak tahu apa-apa di sini?
Hanya perlu lima langkah saja dari rumah Mbok Dami untuk sampai di rumah Jaya. Sedekat itu rumah mereka, sampai aku merasa satu lompatan pun sampai. Di emperan rumah, aku langsung melihat Jaya dan Larasati duduk di kursi panjang kayu. Menunggu kedatanganku. Di samping mereka, ada sebuah buntalan kain yang entah apa isinya.
"Kita harus datang ke Chandrakuta, Anantari." kata Jaya.
Chandrakuta. Aku tahu tempat itu. Ibu kota kerajaan Harinagara, tempat dimana para bangsawan tinggal, para pelancong luar berdatangan dan tempat sebagai pusat pemerintahan kerajaan Harinagara. Di sana juga tadinya ada kediaman keluargaku, sebelum akhirnya kami semua musnah.
"Anantari, kami berdua juga tidak tahu keberadaan saudaramu. Kemarin, kami mengirimkan sebuah pesan melalui merpati agar seseorang datang menjemput kita di gerbang Chandrakuta." jelas Larasati mengimbuhi.
"Kau mau ikut atau tidak, itu tergantung denganmu, Anantari." Jaya berucap. "Kau lebih memilih berada di sini, menunggu kabar dari kami juga tidak masalah. Jika itu yang kau mau."
"Tidak." balasku cepat. "Aku akan ikut kalian berdua."
"Kau yakin?" tanya Larasati memastikan.
Aku mengangguk mantap.
"Aku sangat yakin, Laras. Kelihatannya aku sendiri tidak tahu apa-apa di sini. Dan kalian juga terlihat enggan untuk memberitahuku apapun." ucapanku berhasil membuat keduanya sama-sama buang muka. "Aku tahu kalian punya alasannya sendiri untuk tidak memberitahu apapun. Makanya aku yang akan mencari tahu sendiri, apa itu? Apa yang seharusnya aku tahu?"
Lenggang. Jaya maupun Larasati tidak mengatakan sepatah katapun.
"Baiklah. Kita ganti pembicaraan." kataku pada akhirnya. "Jadi ... kapan kita akan pergi?"
"Sekarang." jawab Jaya.
"Sekarang? Ah, pantas saja ada buntalan kain di samping Lestari. Ternyata kalian sudah bersiap-siap. Tapi kenapa tidak memberitahukan padaku dari kemarin?" Kali ini nada bicaraku terdengar sedikit kesal. Yang benar saja, mereka mengajakku pergi ke tempat jauh, tanpa memberi aba-aba untuk persiapan.
Huh, dasar pasangan suami istri yang hanya memikirkan dirinya sendiri.
"Hei, jangan kesal dulu, Anantari. Buntalan ini hanya berisi makanan, dan lagi kami juga mendadak menyiapkannya karena surat balasan baru datang pagi buta tadi." jelas Larasati.
Aku rasa Larasati tidak berbohong. Aku tidak tahu seberapa jauh Chandrakuta dari desa pinggiran ini. Tapi bila dilihat Larasati dan Jaya tidak membawa pakaian—hanya membawa makanan—kelihatannya dalam satu dua hari, kami sudah sampai.
"Sudahlah, jangan berlama-lama. Matahari sudah semakin meninggi, kita harus cepat sampai di Chandrakuta." tegur Jaya. Dia sudah melangkah duluan.
"Eh, tunggu sebentar." Jaya langsung berhenti lalu menoleh setelah mendengar seruanku. "Apa kita harus jalan kaki?"
"Memangnya kenapa?"
"Bukan apa-apa, tapi kalian ingat jika aku ada kuda?"
"Aduh Anantari, kudamu itu hanya satu. Dan kita itu bertiga. Memangnya kudamu kuat membawa semuanya?" Jaya terkekeh dan kini melirik Larasati. "Apalagi kalau kudamu itu membawanya, takutnya kudamu akan marah-marah tidak jelas karena ketularan...,"
"JAYA SIALAN!" Sadar yang dimaksud Jaya dirinya, Larasati beringsut mengambil buntalan kain untuk dilemparnya pada Jaya. Tapi sebelum itu semua terjadi, Jaya sudah berlari menghindar.
"Aku punya satu nasihat untukmu Anantari. Jangan cari suami yang sifatnya seperti Jaya!"
"Akan kuingat, Laras!" sahutku.
Mana mungkin aku ingin mempunyai suami jahil seperti Jaya?
"Ngomong-ngomong, kalian sudah berpamitan dengan Simbok dan Siman?" tanyaku mengehentikan langkah berlari milik Larasati yang sudah cukup jauh dariku. Dia menoleh.
"Sudah! Tinggal kau yang belum. Sana pamitan, aku akan menghajar Jaya dulu!" seru Larasati lanjut berlari.
Aku mengangguk saja. Memutar langkah untuk berpamitan pada Simbok, Siman dan Gendhis.
🍁🍁🍁
Happy reading guyss 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Anantari
Teen FictionNamaku Anindyaswari. Bukan. Sekarang sudah bukan lagi Anindyaswari, melainkan Anantari. Belasan tahun lamanya aku berada di lembah, jauh dari hiruk pikuk dunia luar. Aku tak berani membayangkan bagaimana aku saat keluar dari tempat ini, hingga hilan...