Menumpuk bantal sebagai sandaran, memakai piyama sebagai pakaian wajibnya, juga tak lupa menyiapkan ponsel dan laptopnya. Jovanka siap untuk mulai mengetik malam ini. Gadis itu juga sudah mengisi perutnya tadi bergabung bersama keluarganya menyantap makan malam.
Baru selesai menempatkan laptop diatas pangkuan, Jovanka menoleh saat terdengar ketukan pelan di pintu. Ia menyuruh siapapun diluar untuk masuk, dan Jovanka tersenyum kala mendapati Bundanya masuk ke kamarnya.
"Bunda."
"Bunda mau ngasih teman buat nemenin kamu begadang." Ujar Marissa mengangkat nampan yang dibawanya. Ada snack disana, juga buah dan susu.
Tanpa diminta pun Marissa duduk di pinggir kasur setelah meletakkan nampan yang dibawanya diatas nakas. "Bunda nggak pernah liat Nak Rome main kesini lagi? Bunda pikir kalian lagi pendekatan dan mau mencoba menjalin hubungan yang serius." Tanpa basa basi Marissa berujar.
"Pak Rome sudah berkeluarga, Bunda."
"Iya, Bunda tau. Tapi pas makan malam waktu itu Nak Rome mengatakan hanya ada mantan. Katanya karena masalah anak mereka belum bisa bercerai secara resmi. Tapi Nak Rome sudah pisah ranjang loh."
"Bunda tau dari mana?"
"Nak Rome yang bilang sendiri sama Bunda dan Papa. Dia juga cerita banyak soal pernikahannya, terus minta izin juga sama Bunda mau ngedeketin kamu."
Semenjak penegasannya siang itu, terhitung sudah dua minggu memang Jerome tidak lagi menampakkan dirinya. Dan malam ini Marissa malah memberinya informasi tentang pria itu. Jovanka pun akhirnya tahu bahwa ternyata mereka belum resmi bercerai.
Baguslah. Jovanka tidak perlu merasa bersalah sekarang. Kemungkinan besar mereka dapat rujuk kembali dan Jovanka sudah mengambil keputusan yang tepat untuk tidak mencoba masuk ke celah hubungan mereka yang berantakan. Bagaimana pun Jovanka tidak akan pernah bisa merampas hak seorang anak atas orangtuanya.
Jovanka tak lagi menyahuti Marissa, keengganannya tersebut dimengerti oleh wanita itu. Jovanka sudah memilih perpisahan, jadi sudah seharusnya memang gadis itu tidak perlu mengulik lebih jauh tentang apapun yang menyangkut Jerome.
"Sebaiknya Bunda pergi agar anak Bunda bisa mengetik dengan fokus."
Jovanka tertawa, ia beruntung memiliki ibu yang pengertian. "Terimakasih snack dan minumannya, Bunda. Jangan tidur terlalu malam, biarkan saja warung diurus orang lain."
"Tentu sayang, Bunda akan tidur setelah memastikan semua anak Bunda sudah berada di kamar masing-masing." Itu terdengar seperti keluhan. Jovanka tahu Raga sering menyelinap keluar dari rumah saat para penghuninya sudah tertidur. Jovanka sering memergokinya karena gadis itu begadang di malam hari.
Marissa benar-benar meninggalkan Jovanka setelah mengecup keningnya dengan sayang. Perlakuannya membuat Jovanka kembali ke masa kecil.
Tak lama setelah ibunya keluar, pintu kamarnya kembali terbuka. Kali ini Mega yang masuk dengan bawaannya yang banyak hingga kedua tangannya penuh. Jovanka mengernyit bingung melihat adiknya tersebut, apalagi saat Mega kemudian meletakkan barang yang dibawanya diatas ranjang.
"Jangan bilang Kakak lupa pada apa yang kita bicarakan sebelum aku berangkat ke kampus siang tadi."
"Pesta? Kamu serius?"
"Tentu saja serius, kita punya tiga puluh menit sebelum Pelangi dan Rose datang menjemput."
Mega berkata sambil mempersiapkan alat make up di meja hiasnya.Gadis itu juga juga menyodorkan gaun berwarna hitam yang ketika Jovanka terima dan dipandangi secara seksama langsung membuatnya bergidik ngeri.
"Mega."
KAMU SEDANG MEMBACA
Belenggu ✔️
General Fiction18+ "Jadilah pelacurku!" Mungkin Jovanka tuli, sebab ia menangkap kata asing dari suara berat Jerome. Juga bagaimana tatapan pria itu yang semakin mendingin. "Ya? M-maksud, Ba-," "Jadilah pelacurku apa kamu tuli!" Kini Jerome membentak nyaring. Jova...