Sembilanbelas🍁

5.4K 285 0
                                    

••

"Kau butuh alkohol untuk menenangkan pikiranmu." Celetuk Adrian, mereka kini sedang berada di dalam mobil. Barra memutuskan untuk pulang setelah Nathan mendapatkan perawatan terlebih dahulu.

Setelah Nathan sadar, Barra akan menanyakan semuanya dengan jelas pada Nathan.

"Bawa aku ke bar sekarang." Adrian mengangguk, ia lantas segera menyalakan mobilnya lalu segera pergi dari markas dark devils.

Sesampainya di bar milik Barra. Adrian pergi ke room alkohol untuk membawa wine terbaik untuk sahabatnya itu. Bar ini, bar pribadi milik Barra tempat dimana mereka sering minum-minum, lokasinya tidak terlalu jauh dari markas.

"Tuan Barra, sudah lama anda tidak datang kesini~" Seorang pria pengurus bar menghampiri Barra dan tanpa permisi duduk dipaha tuannya itu.

Barra menatap sosok Adi dengan tatapan dinginnya. Ia kesini untuk menenangkan pikirannya dengan mabuk-mabukan, bukan untuk bercinta.

Barra tidak mungkin bersenang-senang disaat adiknya baru saja meninggal.

Brak!

"Menyingkir pelacur sialan." Adrian yang baru kembali langsung menarik tubuh Adi hingga pria itu jatuh ke lantai dengan kening menghantam ujung meja sampai berdarah.

"M-maafkan saya." Adi segera bangkit lalu pergi ke ruangan lain untuk membersihkan lukanya. Adi tidak ingin membalas ataupun mengumpat disana karena Adi sangat tahu.

Seberapa kejamnya Barra atau pun Adrian ketika mood mereka diganggu. Bisa-bisa ia akan ditembak mati jika tidak pergi secepatnya.

Adrian segera duduk disamping Barra, menyiapkan gelas khusus minum lalu segera mengisinya dengan wine terbaik.

"Minumlah." Barra mengambil gelas tersebut lalu segera meneguknya dengan khidmat.

Adrian pun melakukan hal yang sama. Dan mereka berdua minum-minum sampai tengah malam.

••

Jam sudah menunjukan pukul satu malam, Dylan dengan setia duduk diruang utama dengan pandangan menatap pintu mansion yang tertutup. Dylan tengah menunggu Barra yang belum pulang sampai saat ini.

"Kemana tuan pergi?" Gumam Dylan. Ia merasa cukup khawatir mengingat keadaan Barra yang tidak baik-baik saja, Dylan takut terjadi sesuatu pada tuannya itu.

Ceklek

Dylan senyum lebar sekali saat pintu mansion terbuka. Menampilkan sosok Barra yang masuk ke dalam mansion dengan sedikit sempoyongan.

Matanya menyipit, pipinya memerah juga terdengar cegukan beberapa kali. Dylan yakin, kalau Barra habis minum-minum karena aroma alkohol begitu menguar dari tubuh Barra.

"Tuan." Dylan segera merangkul Barra saat pria tampan itu hampir saja terjatuh. Dylab membawa Barra ke ruang utama—mendudukan Barra disofa besar yang ada disana.

"Biar saya ambilkan air putih. Sekalian saya buatkan bubur penghilang pengar." Dylan hendak pergi ke dapur, namun Barra segera menahan tangannya. Dylan menatap Barra dengan alis yang naik seolah bertanya kenapa.

"Tidak usah. Aku baik-baik saja." Barra menarik tangan Dylan, lalu memposisikan tubuh ramping Dylan agar duduk dipangkuannya.

"Cantik sekali." Ucap Barra, kepalanya mendongak menatap wajah Dylan, bibirnya tertarik membentuk kurva yang begitu tampan serta matanya juga menyipit membuat bola matanya menghilang.

"Aku tampan, tuan. Bukan cantik." Jawab Dylan sembari mengelus rahang tegas Barra.

Dylan begitu mengagumi bagaimana pahatan Barra yang begitu tampan bak dewa yunani, seolah tuhan sedang tersenyum senang dalam menciptakan sosok Barra Bamantara.

"Kau cantik. Kau sangat cantik bahkan melebihi seorang wanita." Ujar Barra sambil mengecupi tulang selangka Dylan dengan begitu lembut.

"Sepertinya anda benar-benar mabuk tuan. Apa perasaan tuan merasa sedikit membaik dengan minum-minum seperti itu em?" Tanya Dylan dengan nada begitu halus membuat sudut hati Barra menghangat dibuatnya.

Barra memasukan kedua tangannya ke dalam baju Dylan, mengelus punggung mulus si submissive dengan begitu seduktif. "Tidak sama sekali, hatiku masih merasakan sakit bahkan sekeras apapun aku menahannya. Namun, aku tidak bisa terus menerus bersedih disaat pelaku itu masih hidup dengan tenang."

Dylan menarik kepala Barra ke dalam pelukannya, mengelus surai dan tengkuk Barra dengan begitu tulus. "Itu wajar tuan, tidak mungkin anda bisa melupakan rasa sakit anda atas kehilangan Abila dalam sehari saja. Karena semuanya membutuhkan waktu yang lama dan tergantung bagaimana kita menyikapinya. Memilih terpuruk atau malah sebaliknya."

Barra begitu menyukai saat Dylan memberikan afeksi kepadanya, menenangkan hatinya dengan perkataan yang begitu bermakna. Perasaan Barra sedikit membaik jika ia bersama Dylan, seolah mereka memang tengah saling menguatkan satu sama lain saat ini.

"Cium aku." Pinta Barra setelah mendongak menatap Dylan kembali.

Dylan tersenyum tipis, ia mendekatkan wajahnya untuk mencium bibir tipis sang tuan. Hanya sebuah kecupan yang begitu berarti bagi keduanya.

Barra tersenyum begitu tampan membuat Dylan ikut tersenyum melihatnya. Barra pun segera menggendong Dylan ala bridal lalu membawanya ke kamar pribadi miliknya, tempat dimana abu mendiang sang adik berada.

Sesampainya dikamar, Barra membaringkan Dylan dikasur king size miliknya. Mengecup kening Dylan sedikit lama lalu ia pun ikut berbaring disamping pemuda cantik itu.

"Dylan." Ujar Barra sambil merengkuh tubuh Dylan ke dalam dekapan hangatnya.

"Kenapa tuan?"

Barra terdiam untuk beberapa saat, tangan beruratnya menyentuh dagu Dylan mengangkatnya sedikit lalu mengecup bibir ranum Dylan yang selalu menjadi candu untuknya dengan begitu lembut.

"Bagaimana jika aku mengatakan kalau aku mencintaimu?"

Mata Dylan mengerjap beberapa kali. "Eng?" Beo Dylan, takutnya ia salah mendengar atas apa yang dikatakan sang tuan.

Barra menatap Dylan dengan begitu tulus, wajah mereka sejajar dan begitu dekat hingga hidung mancung mereka pun saling menyentuh.

"Aku mencintaimu Dylan. Maaf kalau selama ini apa yang aku berikan padamu hanya sebuah luka... Tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Kau tahu apa yang aku pikirkan saat melihat tubuh adikku sudah tidak bernyawa dihadapanku sendiri?"

"Apa?"

"Dalam pikiranku saat itu hanya, bagaimana jika aku kehilanganmu? Bagaimana jika aku tidak bisa melihat dirimu lagi? Aku terus memikirkannya sampai rasa takut memenuhi hatiku. Hingga aku sadar, aku sudah jatuh sepenuhnya padamu Dylan, aku sudah jatuh cinta padamu." Ujar Barra membuat mata Dylan memanas dibuatnya.

"T-tapi tuan. Bagaimana dengan Niko hm? Dia calon tunanganmu."

"Dengarkan aku, aku sama sekali tidak pernah mencintai Niko ataupun berpikir ingin menjadikannya sebagai tunanganku. Selama ini aku hanya merasa nyaman dengannya. Hanya itu, lagi pula aku sudah memutuskan hubunganku dengannya."

"Anda brengsek tuan."

Barra yang mendapatkan julukan itu hanya tersenyum. "Ya, aku memang brengsek. Aku bukan manusia yang baik, aku manusia yang penuh dengan dosa kalau kau ingin tahu."

"Emm, kau brengsek, kau kejam, kau jahat. Kau tidak memiliki perasaan atau pun rasa iba, tapi... Tapi kenapa aku bisa kalah hanya karena pesonamu? Sesering apapun kau menyakiti, aku sama sekali tidak bisa membencimu... Dan dengan tidak tahu malunya aku juga mulai menyukaimu."

••

TBC

Vomentnya❤️

Cinta Seorang Mafia✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang