Hembusan angin menerpa rambut mereka yang sibuk, suara dentingan kelereng terdengar nyaring saat butiran kaca di tangannya beradu, membuat siapapun yang mengenainya pun menjadi pemenang.
Terlihat sebuah garis yang melintang di hadapan mereka berempat, berjarak dua meter dari batas permainan. Dan dengan serentak melempar kelereng di tangannya, menciptakan siapa terdahulu yang akan memulai.
"Aku yang lebih dulu! Coba perhatikan baik-baik, dari sebelah sini, punyaku yang lebih dekat dengan garis!" Yaya mengukur kelerengnya, membandingkannya dengan milik Cia.
Cia jelas tidak terima, menepis tangan Yaya dan mengukur miliknya dengan jari, begitupula dengan kelereng milik Yaya.
"Hey! Jarimu terlalu gemuk untuk mengukur jarak dari kelereng ini, sudah jelas jarak dari kelerengku lebih dekat!" ucapnya kesal, menatap Yaya dengan alis terangkat, matanya melebar."Kau curang! Kenapa kau menggeser punyaku!" Yaya membalas tatapannya dengan suara yang tak kalah meninggi.
"Tidak! Untuk apa aku melakukannya?! Punyaku bahkan lebih banyak darimu." Cia menunjukkan sebotol kelereng miliknya.
"Punyamu tinggal satu, beli dulu sana!" lanjut Cia, lalu mengambil kelereng miliknya, diikuti Talita juga Jianka yang terdiam memperhatikan."Kalau aku beli, aku gak mau main sama kamu lagi!" sungut Yaya, mengambil kelereng miliknya dan berbalik meninggalkan tempat tersebut sambil menangis.
Dalam perjalanan menuju rumahnya, dengan perasaan kesal, Yaya melempar kelereng miliknya di sebuah kali berukuran sedang, airnya jernih, mengalir hingga ke hilirnya
"Dasar sombong! Aku gak mau temenan sama dia lagi!" gerutu Yaya sembari mengusap ingus serta air matanya yang mengalir.
Setibanya di rumah, Pak Abdur, guru PNS yang mengajar di sekolah dasar, beliau adalah Bapak dari Yaya. Dengan wajahnya yang semakin menua, tubuhnya terlihat lelah tak bersemangat, perlahan melangkah menaiki anak tangga kecil rumah tersebut.
Tak lama kemudian, terdengar suara tangis dari arah belakang, membuat Pria tua itu seketika menoleh dan melihat kepulangan sang Anak yang menangis sembari berjalan menghampirinya.
"Ada apa?" tanya Bapaknya lembut, duduk di pinggir pintu masuk rumah tersebut.
"Bapak... beliin Yaya kelereng yang banyak," rengek Yaya setelah menghentikan langkah di hadapannya.
"Bukannya Bapak udah kasih Yaya kelereng ya? Kok minta lagi?"
"Udah habis, mereka curang, ambil semua punya Yaya." dalih Yaya, masih dengan suara tangisannya.
"Kamu kalah kali, Nak... yasudah, makan dulu sana. Nanti ikut Bapak ke warung ya!" ujar Pak Abdur, melangkah memasuki rumah tersebut, bersamaan dengan Yaya yang mengangguk setuju dan menghentikan tangisnya.
Di halaman rumah Talita yang bersebelahan langsung dengan Jianka, mereka melanjutkan aktivitasnya dalam permainan lompat tali.
"Gak seru ih, kurang Yaya!" celetuk Talita saat gilirannya memegang ujung tali dari karet yang di rangkai.
"Iya, ayo ke rumah Yaya?" usul Jianka sembari melepas ujung tali karet tersebut, membuat karet itu seketika mengenai mata Talita yang memegang ujung karet lainnya.
Tak lama kemudian, Talita terduduk memegang matanya, merasa sakit akibat ulah dari Jianka yang tanpa sengaja.
Mereka dengan cepat menghampirinya, mencoba menenangkan Talita yang tengah menangis.
"Talita, aku minta maaf, aku gak sengaja...," pinta Jianka, merasa bersalah atas apa yang menimpanya.
"Gak mau!" bentak Talita dalam tangisannya, menepis tangan Jianka yang ingin melihat matanya.
"Lho kok matamu merah sebelah, kayak iklan di TV itu!" seloroh Cia yang melihat langsung mata Talita saat menepis tangan Jianka.
Ucapan itu membuat, Talita seketika mengubah tangisnya menjadi tawa, diikuti Jianka yang menertawakan saat melihat langsung kondisi mata Talita.
Mereka tertawa bersama, hingga beberapa menit kemudian, Cia perlahan menghentikan tawanya, berbalik melangkah.
"Mau kemana?" tanya Jianka, membuat langkah Cia terhenti dan menoleh.
"Ke rumah Yaya, yuk... kita main bareng," ujar Cia dengan senyuman tipis, melanjutkan langkahnya dan diikuti mereka dari arah belakang.
To be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
JKT YA CIA TA: Friendship
Teen FictionKisah empat sekawan dalam perjalanan masa kecilnya, memiliki sifat yang berbeda-beda, melalui berbagai macam rintangan di setiap lembarannya. Seringkali mereka berdebat dan memaki satu sama lain, hinaan serta umpatan tak luput dari persahabatan yang...