Pertarungan traumatis di eksoplanet Gugura menyisakan kerusakan astronomi yang besar. Kalau Sopan berbuat begitu di bumi, lalu dia meledakkan bulan serta katakanlah, matahari, aku yakin Sopan akan digebuki seluruh warga di bumi, dan dibakar hidup-hidup. Tidak lupa, didenda oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Atau tidak, karena penduduk bumi keburu punah sebab hipotermi.
Untungnya, planet Gugura planet tak berpenghuni, dan keberadaan Icarus serta Earendel tak begitu mempengaruhi keberlangsungan kehidupan ekologi Gugura.
Khusus untuk sekarang, aku tak bisa memikirkan apa yang lebih buruk daripada bertarung di bawah dua black hole buatan manusia. Aku mengingat bagaimana black hole Icarus dan black hole Earendel saling memvakum. Mereka tampak seperti pusaran angin berdaya hisap kekuatan gravitasi super duper hebat. Cahaya sekali pun tidak bisa menghindar dari horizon event kedua black holenya. Waktu itu, lututku gemetaran. Tanganku berpegangan pada objek apapun. Dan di tengah kesulitan mempertahankan diri dari sedotan black hole, aku perlu mengatasi Sopan.
Makanya aku bilang, pertarungan di Gugura lumayan traumatis. Dan ironi, bagi Taufan.
Aku memandangi sosok yang terbaring di atas kasur unit kesehatan. Dia bukan Beliung sekaligus Beliung di satu waktu yang bersamaan. Bisa dikatakan, dia memang Beliung, tapi versi lebih warasnya—aku tidak menjamin apakah Taufan benar-benar sehat secara mental, tapi tampaknya dia tertawa lebih sedikit ketimbang Beliung, dan dia memiliki tubuh Beliung.
Antara Taufan dan Beliung, mereka tidak berbeda jauh. Mereka sama-sama Boboiboy. Dan lagi pula, mereka berbagi kesadaran.
Tapi orang ini namanya Taufan. Dia tergolek tanpa daya di atas kasurnya. Setengah tubuhnya ditutupi selimut bergaris-garis. Di balik selimutnya, perutnya dibebatkan perban dan dioleskan antisepsis. Aku tidak tahu detail lukanya, separah apa dia menderita kesakitan hingga dia tidak bangun selama dua belas jam, dan kenapa tidurnya begitu nyenyak.
Aku melihat dadanya kembang kempis. Wajahnya setentram manusia tanpa hutang di penghujung hayatnya. Kata dokter lokal sini, Taufan terluka memang cukup sadis, terutama karena dia memperoleh lukanya dari kelakuannya sendiri. Dia kehilangan banyak darah, dia berpotensi mengalami syok hipovolemik, dan dia diberikan penanganan resusitasi cairan kristaloid. Oleh karena itu, di punggung tangannya, tertanamlah jarum pengalir obat.
Terkutuklah si Solar siapalah itu.
Tidak lama setelah aku menyebutkan nama Solar untuk mengutuknya di dalam benak, Taufan menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Matanya beradaptasi akan cahaya lampu. Dia berkedip-kedip, dan dia berusaha mencerna keadaan.
Dia memang tidak akan mati. Aku sudah tahu, karena dia bukannya menusuk jantungnya—ya, dia hidup. Taufan menyapu pandang pada ruangan ini dengan mata sayunya. Dia terlihat mirip pemuda mabuk yang secara begitu sembrono meraih nakas, dan malah memecahkan segelas air putih.
Sadar akan kesalahannya, Taufan panik.
Aku, orang yang berdiri di sudut ruangan sambil melihat-lihat poster spina bifida di dinding, dan datang kesini dalam tujuan menjenguk Taufan, lekas menghampiri tepi kasurnya.
Ketika memergoki keberadaanku, dahi Taufan mengernyit. Dua tangannya lekas mencengkram ujung selimutnya, dan dia mengangkatnya tinggi-tinggi. Kepalanya menunduk. Taufan memandang ke arah perut. Dia mencari tahu soal kondisi kesehatannya sendiri untuk memutuskan seperti apa dia akan menyikapi keadaan rumit ini.
Taufan nampak terkejut, namun keterkejutannya memudar di detik selanjutnya, setelah ia memahami apa yang terjadi padanya di Gugura. Dia melepaskan cengkraman tangannya pada selimutnya, membiarkan selimut itu kembali jatuh ke dadanya, dan menutupi seantero region abdomennya.