2. Keterpaksaan

2.1K 229 45
                                    

Tepat di depan pintu lobi, langkah Andreas terhenti. Dia tidak menghiraukan seorang sekuriti yang tengah tersenyum lebar padanya, yang baru saja membuka jalan untuk Andreas keluar. Lelaki itu justru diam di tempat, seperti menunggu sesuatu. Atau ... seseorang?

Setelah beberapa detik mematung, Andreas pun berbalik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah beberapa detik mematung, Andreas pun berbalik. Netranya tertuju pada seorang perempuan berambut panjang yang baru saja memasuki kafetaria. Dari balik dinding kaca, Andreas bisa melihat dengan jelas sekurus apa tubuh yang dibalut blus floral biru itu. Untuk ke sekian kali, Andreas mempertanyakan ke mana perginya makanan yang perempuan itu santap? Disenggol sedikit, tubuhnya pasti terpental sejauh 5 meter.

Embusan napas panjang lolos dari bibir Andreas. Dia berbalik, langsung memburu mobil sedan putih yang sudah menunggunya sejak tadi. Begitu duduk di kursi belakang, Andreas langsung membuka tablet kesayangannya, memeriksa pekerjaan.

"Nanti antar Stella belanja," ucap lelaki itu seketika.

"Baik, Pak," jawab sang sopir yang duduk di balik kemudi. Lalu, ia menginjak pedal gas perlahan, memastikan sang atasan merasa nyaman selama perjalanan.

"Kamu temani dia masuk mal juga, jangan hanya menunggu di mobil."

"Siap, Pak."

"Wih ... peduli banget sama istrinya? Ada peningkatan, nih?"

Sekalipun Pak Yono—sang sopir—mengharapkan ketenangan bisa mengantarkan perjalanan Andreas, tetapi itu tidak akan terjadi. Karena di sana ada Levine.

"Jangan bicara jika yang kamu ucapkan bukan hal penting," interupsi Andreas tanpa mengalihkan pandangannya dari layar tablet.

Levine berdecak. "Sejak kapan istri jadi topik yang gak penting buat seorang suami? Justru itu jadi obrolan yang paling penting, dibandingkan pekerjaan."

"Kamu tahu sendiri bahwa saya dan Stella tidak seperti suami dan istri yang lain."

"Ya, gue tahu. Tapi mau sampai kapan lo pakai alasan itu buat bersikap dingin sama Stella? Tunjukkan sikap peduli lo sama dia, dong. Jangan beraninya di belakang aja!"

Andreas terpejam selama beberapa saat. Lalu, dia melirik lelaki yang duduk di sampingnya. Tatapannya tajam, seakan bisa menebas leher Levine. "Diam, atau saya tendang kamu ke jalanan sekarang juga?"

"Gak asik!" dengkus Levine sambil membuang muka ke arah jendela. Ia melipat tangan di depan dada, merasa kecewa atas sikap Andreas. Bisa-bisanya dia berkata kejam seperti itu pada sahabatnya sendiri? Ya ... meskipun Levine juga sekretaris, tidak seharusnya Andreas berkata demikian.

Lelaki 32 tahun itu geleng kepala. Lalu, ia kembali fokus pada tablet, menggulir satu demi satu foto hasil para pekerja di Bali.

Pernikahan adalah perjalanan panjang, diharapkan terus bersama sampai hari tua, sampai maut menjemput, sampai berjumpa kembali di kehidupan selanjutnya. Kebahagiaan yang menyertai perjalanan panjang itu tercipta dari cinta yang terus diperbarui setiap harinya.

Pratigya [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang