38

1.4K 141 14
                                    

Siang itu lapangan utama pesantren ramai dengan beberapa kelompok orang yang sedang mempersiapkan penampilan untuk pekan olahraga pesantren yang diadakan setahun sekali.

"Kamu kok bisa lepas hijab merahnya, Ca? Nggak jadi dihukum?" tanya Nendy kala mereka sedang pemanasan persiapan latihan untuk pertunjukkan Pekan Olahraga Nasional Pesantren di lapangan yang sama dengan para santri yang dihukum atas pelanggaran berat.

"Yang disita surat dari keluargaku, dikiranya dari pacar," jawab Alca sembari mengambil tongkat mayoret yang tadi dia letakkan di atas rumput Jepang.

Nendy mengangguk. "Iya sih, kamu nggak mungkin pacaran. Jangankan pacaran, ngelanggar peraturan aja kayaknya nggak mungkin."

Alca tersenyum tipis ke arah Nendy. "Aku manusia biasa, Ndy. Pastinya pernah ngelanggar juga, cuma hoki aja nggak keciduk pengurus."

Nendy memicing tak percaya.

"Kemarin satu asrama pada ribut ngelihat kamu pake kerudung legend. Anak-anak di kamar juga. Mereka pada nebak-nebak kesalahan apa yang dilakuin santri teladan sampe bisa masuk buku merah. Ternyata beneran salah, salah paham," kelakar Nendy.

Alca menggeleng-gelengkan kepala mendengar lelucon Nendy. "Kamu sendiri kenapa masuk buku kuning?"

"Nggak ngeliat kemarin HP aku disita?" tanya balik Nendy.

Alca baru ingat tentang itu. "Terus HP-nya digimanain sekarang?"

"Belum tahu, kalau biasanya sih digeprek ya."

Alca mengangguk-angguk.

Tiba-tiba Nendy mendesah sedih. "HP akuuuuu. Padahal banyak banget kenangannya. Nomer temen-temen di sana semua."

"Sempet dicadangin ke iCloud nggak? Kalo sempet, ya nggak ilang."

Nendy tiba-tiba menoleh. "Ih kamu kaya, yaaa? Pake iPhone? Kalo Android mah Google."

Alca tertawa. "Standar mana itu kalo orang kaya pake iPhone? Padahal yang bercukupan juga bisa pake merek itu."

"Iya sih banyak yang pake iPhone 14,  14x cicilan!" kelakar Nendy sembari berjalan mengambil Cymbal di dekat Pak Hamid, wali kelasnya sekaligus pelatih drumband.

Alca menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan Nendy. Sembari menunggu sahabatnya itu, Alca memutar stick mayoretnya ke kanan-kiri menguji skill yang tak pernah dipakai lagi sejak lulus sekolah dasar.

Bisa, tapi tangannya sedikit kaku karena tak pernah bergerak memutar-mutar barang seperti itu. Ya mau bergerak bagaimana kalau di pesantren diajarkan berlaku sopan,  santun, dan beradab. Tak boleh grasak-grusuk karena perilaku tersebut asalnya dari setan.

Setelah mencoba memutar, Alca melemaskan jemarinya dan bersiap melempar tongkat.

Tiba-tiba Pak Hamid berhitung, "Tiga, dua, satu!"

Bertepatan dengan itu Alca melempar tongkatnya dengan fokus yang pecah karena mendengar Pak Hamid tiba-tiba berhitung. Alhasil tongkat itu jatuh bukan ke pegangannya, melainkan kepada sekelompok pasukan pengibaran bendera.

Barisan mereka langsung bubar kecuali satu orang yang sedang berjongkok memegang kepalanya.

Alex!

Lelaki itu mengaduh ketika kepalanya terkena pentolan baton.

Beberapa orang langsung mendekati Alex menanyakan kondisinya, termasuk Nendy dan Pak Hamid.

Alca menyusul beberapa detik kemudian setelah sadar dari rasa terkejutnya. Dia langsung meminta maaf pada mereka.

Dear Anta, Ana Uhibbuka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang