Satu mataku terbuka perlahan. Kelopak mataku lengket karena aku tertidur terlalu pulas. Sinar terang matahari yang menyengat, hampir membutakan mataku. Aku telah berbaring didalam sebuah kamar dengan dinding bernuansa putih yang dipenuhi beberapa furnitur yang berwarna biru muda.
Aku menghirup aroma laut dan garam yang berhembus disekelilingku. Bunyi ombak yang berdebur membuatku berguling miring dan menatap pinggiran pantai dari jendela lengkung bertirai yang ada di hadapanku.
Tirainya tipis dan berumbai. Angin laut berhembus melaluinya. Aku meletakkan daguku pada kusen jendela dan menghirup angin laut segar dihadapanku dengan sebuah tarikan napas dalam. Pepohonan kelapa yang tinggi dan melengkung menghiasi bagian ujung pantai ini. Dedaunannya yang panjang bergoyang mengikuti hembusan angin.
Jika aku ingin bersembunyi, mungkin ini adalah tempat yang tepat.
"Aku tahu kamu sudah bangun." Terdengar suara lembut yang merajuk dari belakangku. Aku berguling di atas tempat tidur lembut dibawahku dan menghadap ke arahnya. Sambil menopang kepalaku dengan satu tanganku.
*Pict hanya ilustrasi
Seorang wanita berkulit cokelat gelap dengan rambut abu-abu terang panjang yang dia ikat menjadi sebuah kepangan rumit memandangku dari ujung tempat tidurku. Ada beberapa bintik putih yang terlukis melengkung pada kedua sisi pipinya. Warna mata hijau gelapnya mengawasiku tajam. Seperti seorang penyembuh yang mengawasi pasiennya.
Hari ini, dia mengenakan sebuah gaun chiffon bertali berwarna biru laut dengan motif ombak berwarna putih. Rok gaunnya berdesir lembut saat dia bergerak ke arahku dengan membawa sebuah nampan yang di atasnya sudah ada sebuah gelas mengepul.
"Sereia." Aku menyapa. Memberikannya sebuah senyuman yang tulus.
"Kamu masih bisa tersenyum?" Tanyanya tidak percaya. "Jika salah satu pelayanku tidak menemukanmu. Bisa saja aku terlambat menyelamatkanmu. Aku tidak mau istana indahku punya sejarah yang kelam."
Aku terkekeh dan bangkit dari tempat tidurku. Kain gaun yang aku pakai bergerak ringan mengikuti pergerakanku.
Aku berbalik ke arah cermin tinggi yang berada disisiku. Gaun chiffon putih bermotif dedaunan hijau tanpa lengan dengan tali yang mengikat pada leherku. Sayangnya, tato riak air hitam yang tercetak jelas di sepanjang kulit tangan, lengan, bahu, hingga leherku. Membuat gaunnya terlihat menyedihkan. Sereia telah melepaskan kalungku. Sehingga menampakkan rambut perak, kulit pucat, dengan warna seperti bulan yang bersinar meredup. Aku bisa merasakan bahwa kehidupan, perlahan-lahan mulai meninggalkan aku.
Aku berbalik lagi ke arah Sereia dan mengambil gelas yang mengepul itu. Mengendusnya, aku mengenali bau cokelat, pala, dan juga beberapa tambahan obat lainnya yang tidak bisa aku kenali. Aku meneguknya dengan perlahan. Yah, rasanya masih seperti cokelat. Tidak ada yang berubah dari rasanya, walaupun aku masih mengendus bau aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Darkest Moon (Moon Series #3)
FantasiSemuanya berawal dari keserakahan. Menciptakan sebuah kegelapan yang mencemari apapun yang ditinggalkannya. Bahkan kegelapan itu telah mengerogoti tubuhku secara perlahan-lahan, membusukkan tubuhku dari dalam. Tidak banyak waktu yang terisa untukku...