DAY 04: TERPILIHNYA WAKIL KETUA

107 8 2
                                    

PAGI ini, seluruh siswa kelas XI IPS 3 berkumpul di lapangan sekolah untuk melaksanakan kegiatan olahraga rutin. Aku memilih untuk duduk di tribune yang terletak di tepi lapangan setelah guru olahraga mengatakan pelajaran hari ini telah usai dan kami diizinkan untuk mengisi sisa waktu kosong.

Di sisi kananku, ada Amara yang sibuk mengipasi dirinya dengan kipas tangan bergambar My Little Pony yang selalu ia bawa ke mana pun. "Asli! Paling males kalau olahraga pagi-pagi kayak gini. Bikin badan lengket sebelum masuk kelas," keluhnya.

Gadis itu beberapa kali menyeka rambutnya yang menempel di wajah akibat air keringat. "Nanti mau ke kantin nggak? Gue pengin beli minum, nih."

Aku bergumam pelan, memikirkan jawaban. "Nggak dulu, deh. Lagi males."

"Lo nggak mau beli pie emangnya?"

Aku menggeleng tanpa menoleh ke arah Amara. "Nggak. Nanti aja pas istirahat."

"Serius nggak mau beli pie? Nanti kehabisan, lho," ucapnya dengan nada yang dibuat-buat.

Ucapan Amara membuat keputusanku untuk tidak pergi ke kantin sedikit goyah. Bibirku yang terlipat kedalam bergerak ke kanan dan ke kiri, menimbang-nimbang perkataan Amara. "Beli nggak, ya? Beli nggak, ya?"

"Gue nitip aja deh. Boleh nggak?" tanyaku setelah beberapa detik.

Amara nyaris menyikut tubuhku. "Yeu! Ayo bareng aja."

"Kaki gue kram, Ra. Sakit kalau digerakin," ucapku beralasan dengan mengusap-usap bagian betisku yang sebenarnya tidak kenapa-kenapa. Hanya saja aku terlalu malas untuk bangkit dan berjalan ke kantin yang jaraknya lumayan jauh dari lapangan.

Terdengar Amara mendecak sebal. Namun, tangannya tetap bergerak untuk mengadah di depan wajahku, tanda meminta uang. Aku pun mengeluarkan beberapa lembar uang yang berada di saku celana, lalu menyerahkannya pada Amara.

Setelah Amara pergi, aku kembali menyandarkan diri, menumpu kedua siku pada sandaran kursi sembari memerhatikan teman laki-laki sekelasku yang sibuk mengoper bola ke sana-kemari di lapangan bawah sana sambil berseru heboh.

Hingga tiba-tiba sebuah suara berhasil membuyarkan lamunanku. "Hai, Nala!"

Sontak kepalaku menoleh cepat ke arah sumber suara. Orang itu perlahan-lahan mendekat dan mulai mengambil posisi duduk tepat di sampingku. Kehadirannya membuat posisi dudukku sedikit berubah, tak lagi bertumpu pada sandaran kursi. "Kak Marsha?" tanyaku memastikan.

"Kenapa sendirian?" tanya perempuan cantik itu. Sungguh, setiap melihat Kak Marsha, aku seperti sedang melihat putri Disney keluar dari dunia khayalan.

"Oh, enggak, Kak. Tadi aku bareng Amara, tapi dia lagi pergi dulu ke kantin," jawabku. "Kak Marsha sendiri nggak ke kelas?"

Gadis itu tersenyum. "Aku lagi jam kosong. Terus karena bosen, aku milih muter-muter aja. Eh, nggak sengaja ngeliat kamu di sini."

Aku mengangguk canggung.

Aku tidak begitu mengenal Kak Marsha. Hanya tahu bahwa gadis di sampingku ini adalah wakil ketua OSIS yang dikenal baik dan lemah lembut. Rasanya aneh dan sekaligus menyenangkan saat berbicara langsung dengan seseorang yang begitu dihormati.

"Aku juga mau ngomong sesuatu, sih, sama kamu," ucapnya tiba-tiba.

Tubuhku menegang seketika. Dengan perlahan, kepalaku bergerak menoleh ke arah Kak Marsha dengan takut. "Ada apa, Kak?"

Kak Marsha tersenyum. Ia dengan cepat memutar tubuhnya hingga kami duduk berhadapan dengan sempurna. Detik selanjutnya, tangan mulus nan putih bak salju itu terulur tepat di depanku. "Selamat."

On the Day We Call It LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang