Habib memicingkan mata, menahan terik matahari yang serasa menganggu pengelihatannya. Dia sedang dalam perjalanan untuk menjemput penumpang di jalan Dharma Husada. Matanya melirik kanan-kiri, mengagumi deretan rumah mewah yang ada di sana. Kapan ya dia bisa memiliki rumah sebagus ini?
Kaca helmnya yang tiba-tiba melorot menyadarkan Habib. Ah, jangankan punya rumah mewah? Buat beli helm baru yang kacanya nggak longgar begini aja dia tidak mampu. Bahkan di hari Minggu seperti ini dia masih harus bekerja serabutan untuk orang tuanya di kampung.
Menjadi Ojol, bukanlah profesi utama Habib. Aslinya dia seorang guru sukwan di sebuah sekolah SMA di Surabaya, mengajar matematika. Sukwan adalah singkatan sukarelawan. Guru yang sukarela, bayarannya juga sukarela. Gaji sebulan Habib di sekolah kurang lebih 500 ribu rupiah, untuk bayar kosnya saja sudah habis. Maka dari itu setiap hari Habib kerja serabutan menjadi tukang ojek.
Ironisnya, gaji sebagai ojol di kota sebesar Surabaya ini lebih banyak jika dibandingkan dengan menjadi guru. Sebulan kurang lebih, Habib bisa mendapatkan gaji UMR kota Surabaya. Padahal, dia hanya bekerja sepulang sekolah jam empat sore sampai jam satu pagi, dan hari Sabtu-Minggu full dari jam tujuh sampai jam tiga malam.
Bagaimana bisa seorang ojol lebih dihargai daripada guru yang memberikan ilmu? Hal itulah yang kadang membuat Habib merasa miris. Padahal di sekolah pekerjaannya itu banyak sekali. Tidak hanya mengajar saja tapi juga dituntut membantu pekerjaan para ASN yang makan gaji buta.
Habib menopang dagu, bosan menunggu lampu merah yang masih 200 detik lagi. Kalau dihitung mungkin sudah lebih dari tujuh kali Habib gagal mengikuti tes CPNS. Tahun ini adalah kesempatan terakhirnya. Jika dia gagal, maka kesempatan menjadi pegawai pemerintah yang santai akan hilang. Paling bagus dia hanya jadi guru PPPK yang nggak tahu kapan kontraknya akan diakhiri oleh negara. Mengapa hidupnya begitu sulit?
Terkadang, Habib berpikir untuk menekuni ojol saja ketimbang jadi guru, tapi apa kata tetangganya di kampung nanti? Habib si anak cerdas yang kuliah di Surabaya ternyata cuman bisa kerja jadi ojol aja. Betapa rendahnya, harga dirinya ini dibandingkan bisik-bisik tetangga. Maka Habib bertahan menjadi guru hanya demi gelar dan status sosialnya saja.
Ah, daripada meratapi nasib, lebih baik Habib memikirkan masa depan saja. Mungkin memikirkan tentang pernikahan? Ibunya tadi pagi telepon bertanya kapan dia menikah. Jujur saja bukannya Habib nggak mau nikah. Tapi pacar-pacarnya selama ini selalu meninggalkannya untuk menikah dengan orang lain. Yah, Habib tidak menyalahkan mereka. Menikah itu sekali seumur hidup. Cewek-cewek pastinya butuh lelaki yang siap menafkahi lahir dan batin. Bukan orang seperti dia yang hanya untuk makan sehari-hari saja masih kesusahan.
Sekarang diusia tiga puluh empat tahun ini, dengan penghasilan serabutan, apa yang dia bisa tawarkan pada cewek-cewek untuk menikah dengannya? Ah, rasanya Habib ingin kembali jadi anak sekolah saja. Masa di mana dia jadi cowok ganteng yang dielu-elukan cewek-cewek. Saat itu, cewek-cewek mengantri untuk berpacaran dengannya, tapi sekarang mereka menjauhinya. Bukannya, Habib tidak mendengar saat mereka tertawa sambil berbisik dan menjulukinya "Mokondo." Serendah itukah nilainya?
Ah! Kenapa dia jadi merasa frustrasi memikirkan masa depan. Ya sudah, mari pikirkan masa depan yang dekat saja. Sore nanti, dia mau bikin konten YouTube apa ya? Habib adalah seorang konten kreator yang cukup. Walaupun subscribernya baru 200 biji saja. Bahkan belum bisa monetisasi. Tapi Habib terpacu semangat untuk menjadi Jerome Polin wannabe. Betapa enaknya jika dia bisa hidup dari YouTube seperti bocah hiperaktif itu.
Sambil memikirkan rumus matematika apa yang akan dia bahas untuk konten nanti, tahu-tahu Habib sudah berhenti di depan sebuah rumah mewah. Papan nama dr. Afifah Prawirohadjo, Sp.A terpajang di sana. Dokter-dokter selalu kaya seperti ini ya? Dulu Habib sempat tuh mau kuliah kedokteran tapi apa daya tidak ada biaya, padahal dia sudah diterima. Pengajuan Bidik Misinya gagal karena orang tuanya di kampung punya rumah warisan yang cukup bagus wujudnya. Padahal itu rumah warisan yang belum dibagikan kepada 10 saudara bapaknya yang merantau di luar kota. Seandainya dulu Habib menjadi dokter apakah nasibnya sekarang ini akan berbeda?
Pintu pagar di dorong dan seorang wanita cantik keluar dari sana. Wanita cantik dengan mata agak sipit dengan rambut lurus seperti direbonding. Dengan baju yang ada tulisannya Balenciaga dan tas chanel rasanya nggak pantes kalau cewek ini kepanasan naik Gejok. Kenapa nggak pesen Grob aja ya? Kan pantesnya naik mobil ber-AC gitu.
Habib tersenyum seramah mungkin dan bertanya pada cewek cantik yang mempesona itu. Yah, bukan hanya wajahnya saya yang rupawan. Habib bertanya-tanya harga outfitnya itu kalau ditotal kira-kira berapa ya? Harga jepitan rambut yang menghiasi rambutnya saja kira-kira seharga dua juta?
"Mbak Aina?"
Cewek itu memandanginya sebentar. Yah, ini pemandangan yang sudah biasa bagi Habib saat pertama kali bertemu penumpang cewek. Bukannya sombong tapi Habib memang punya wajah yang kualitas premium. Jadi ya begitulah, pasti ada saja yang terpesona kalau dia senyumin begini.
"Iya," angguk cewek cantik itu.
Habib tidak tahu perasaan aneh apa yang menjalari hatinya saat mendengar suara penumpang yang begitu halus dan lembut. Bolehkah jika dia jatuh cinta pada wanita ini?
***
Halo guys! Alex di sini. Kasihan banget ya si Mokondo ini hidupnya. Mamiku kadang terlalu kejam. Apakah kalian sudah merasa penasaran akan cerita baru Mamiku ini? Mohon maaf ya, kata Mami sekarang dia bisanya nulis hari Sabtu-Minggu aja. Soalnya sehari-hari kan kerja. Harus fokus mengabdi pada bangsa dan negara gitulah katanya. Dasar Mami tukang bohong! Aku tahu dia kerja cuman demi cicilan utangnya di bank yang lunas 15 tahun lagi itu.
Ya udinlah manteman, supaya Mamiku senang dan bahagia ayo kasih donasi di Karyakarsa dengan membeli chapter seharga mulai dari 2K aja. Royalti bulan ini 50%nya akan disumbangkan untuk Palestina. Kuy, buruan sedekah.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.