24: Puncak Hilangnya Harapan 1

397 75 5
                                    











24

### Mencari Jawaban di Tengah Kegalauan

Pagi itu, ketika langit masih samar-samar beranjak dari gelapnya malam, Shani terbangun dengan perasaan yang sama-hampa dan tak tenang. Boneka yang ia peluk erat terasa dingin, tidak seperti kehangatan yang biasa ia rasakan ketika Gito berada di sisinya.

Shani memandang kosong ke arah kasur sebelahnya, berharap menemukan Gito yang terlelap di sana. Namun, sama seperti pagi-pagi sebelumnya, ia hanya dihadapkan pada kenyataan yang pahit. Gito tidak di sana, dan sepertinya tidak akan berada di sana untuk waktu yang lama.

Shani menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Tapi semakin ia berusaha, semakin jelas betapa kosongnya hidup tanpa kehadiran pria itu.

Sejak Gito menghilang tanpa kabar yang jelas, hari-hari Shani menjadi monoton dan penuh dengan kecemasan yang tak berujung.

"Aku bisa melalui ini," Shani berbisik pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, kata-kata itu terasa hampa dan tidak memberikan ketenangan yang diharapkannya.

Saat melangkah menuju dapur, Shani kembali menjalani rutinitas paginya yang membosankan. Segelas susu dan sepotong roti ada di atas meja makan, menemaninya dalam kesendirian. Ia menatap makanan di depannya tanpa selera, merasa jenuh dengan keadaannya.

"Kalau Dia ada di sini, pasti dia sudah mengeluh soal sarapan ini," Shani merenung, mengingat momen-momen di mana ia harus berteriak hanya untuk membangunkan pria itu.

Semua itu memang melelahkan, tapi sekarang Shani menyadari bahwa ia merindukan semua itu. Kehilangan sosok Lelaki tak pekaan itu, bahkan untuk beberapa hari saja, cukup untuk membuatnya merasa frustasi.

Sudah lebih dari satu setengah minggu sejak Gito pergi, dan ketidakpastian membuat Shani semakin terpuruk. Tiap kali ia mencoba menghubungi Gito, hasilnya selalu sama-tidak ada jawaban, tidak ada balasan.

"Masih 4 hari," pikir Shani, tapi hari-hari itu terasa seperti selamanya.

####

Dengan hati yang berat, Shani bersiap-siap untuk pergi ke kantor.

Namun, kali ini sesuatu terasa berbeda. Saat ia tiba di depan kantornya, Shani hanya duduk diam di dalam mobilnya. Matanya menatap kosong ke depan, pikirannya dipenuhi dengan kebingungan dan kecemasan.

Mobil Shani terparkir tepat di depan pintu masuk, menghalangi kendaraan karyawan lain.

Namun, tidak ada satu pun yang berani menegurnya. Mereka semua tahu betapa tegangnya situasi ketika Shani sedang dalam mood yang buruk.

Bahkan klakson pun tak berani mereka bunyikan, memilih untuk menunggu dengan sabar hingga mobil bos mereka bergerak.

Lama Shani termenung di sana, hingga akhirnya ia memutuskan untuk memajukan mobilnya. Tapi bukannya memarkirkan mobilnya di area parkir, Shani malah menjalankannya menuju gerbang keluar.

Entah apa yang ia pikirkan, tanpa arah yang jelas, Shani terus melajukan mobilnya hingga tiba di sebuah kampus yang ia kenal. Ia tidak tahu apa yang mendorongnya ke tempat ini, tapi yang pasti, ada sesuatu yang ia cari-jawaban, atau mungkin hanya secercah harapan.

#####

Shani memarkirkan mobilnya di depan salah satu fakultas, di tempat yang ia tahu Gito sering menghabiskan waktunya. Tapi kampus itu tampak sepi, tidak ada tanda-tanda kehadiran Gito di sana.

Lama ia menunggu di sana, dalam panas dan gerah yang semakin membuatnya tak nyaman. Namun, Shani tetap bertahan, berharap bisa menemukan petunjuk tentang keberadaan pria yang membuatnya gundah ini.

Tiba-tiba, dua sosok yang familiar keluar dari gedung fakultas. Shani mengenali mereka sebagai Oniel dan Olla, teman-teman satu angkatan Gito. Ia segera memanggil mereka.

"Oniel! Olla!" teriak Shani, melambai ke arah mereka.

Mereka berdua berhenti sejenak, lalu berjalan mendekati Shani dengan ekspresi heran.

"Kak Shani? Ngapain di sini?" tanya Oniel, sedikit terkejut melihat kehadiran Shani.

"Aku lagi cari Gito. Kalian tahu nggak dia di mana?" Shani bertanya langsung, tak ingin bertele-tele.

Oniel dan Olla saling bertukar pandang sejenak, sebelum Oniel menjawab dengan hati-hati, "Kak, sebenarnya kita nggak tahu Gito ada di mana. Tapi yang kita tahu, semester ini dia ambil cuti."

Mendengar jawaban itu, Shani terkejut. "Cuti? Dari siapa kalian tahu?"

"Chika," jawab Oniel, agak ragu.

"Tadi barusan ketemu sama dosen, paling bentar lagi keluar tuh anak."

Shani terdiam sejenak, mencerna informasi yang baru saja ia terima. Chika? Kenapa Chika bisa tahu lebih banyak tentang keadaan Gito daripada dirinya? Bukankah Shani yang seharusnya menjadi orang pertama yang tahu?

Melihat ekspresi Shani yang berubah, Olla mencoba menenangkan dengan senyum. "Santai aja, Kak. Mungkin Gito lagi sibuk aja ngurusin sesuatu."

Shani mencoba membalas senyum Olla, tapi hatinya masih terasa berat. "Makasih ya infonya," ucapnya dengan nada datar.

"Siap, Kak. Kalau ada apa-apa, kabarin aja," jawab Oniel sambil tersenyum, sebelum mereka berdua berlalu, meninggalkan Shani sendirian di sana.

Saat mereka sudah pergi, Shani merasa lebih terpuruk lagi. Hatinya bertanya-tanya, "Kenapa bisa Chika lebih tahu keadaan Gito daripada aku? Apa sebenarnya yang terjadi?"

Dengan perasaan hancur, Shani tetap menunggu di sana, berharap bisa bertemu Chika dan mendapatkan jawaban yang lebih jelas. Namun, semakin lama ia menunggu, semakin terasa betapa tidak berdayanya ia dalam situasi ini.

Shani memandang sekitar dengan tatapan kosong, merasa dunia seakan berkonspirasi untuk menjauhkannya dari Gito. Di saat-saat seperti ini, ia benar-benar merasa kehilangan arah, seperti kapal yang tersesat di lautan yang luas tanpa kompas.

Setiap detik yang berlalu hanya memperdalam kegalauan di hatinya. Shani bertanya-tanya, bagaimana bisa semuanya berubah begitu cepat? Kenapa Gito menghilang tanpa kabar, dan kenapa Chika, bukan dirinya, yang tahu lebih banyak tentang keadaan Gito?

Pikiran-pikiran itu terus berputar di kepala Shani, membuatnya semakin tenggelam dalam kesedihan. Di tengah kebingungannya, Shani hanya bisa berharap bahwa suatu saat nanti, ia akan menemukan jawaban yang selama ini ia cari. Tapi untuk saat ini, yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu, dan terus bertanya-tanya dalam kesunyian yang menyakitkan.




















Bye....

CERITA DIBALIK KONTRAK (GITSHAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang