Chapter 3 - Netherrealm

63 16 6
                                    

Happy Reading🏹

Theodore dan Halfoy saling pandang dalam diam, namun pandangan itu cukup untuk menyepakati harus kemana mereka —perpustakaan. Tanpa banyak bicara, mereka menyingkirkan buku yang semula mereka baca dan melangkah cepat menuju perpustakaan kastil yang sunyi. Pikiran mereka dipenuhi imajinasi liar, mencoba merangkai teka-teki dari hal-hal aneh yang mereka temukan sebelumnya. Namun, mereka juga tahu bahwa sesuatu menunggu untuk diungkap di sana.

Bgitu sampai di perpustakaan, mereka berdiri sejenak di depan lemari tua yang tampak penuh misteri. Keduanya kembali saling pandang, mencoba mengumpulkan keberanian sebelum Halfoy membuka lemari itu. Di dalamnya, tersimpan sebuah kotak yang sudah mereka lihat sebelumnya.

Halfoy membuka kotak itu perlahan, mengambil sebuah buku dengan sampul hitam yang tampak sederhana namun mengundang rasa penasaran. Ia menyerahkan kotak itu kepada Theodore, yang dengan jeli meneliti isinya, berharap menemukan petunjuk lain. Namun, setelah buku itu diambil, kotak tersebut ternyata kosong, tidak ada kunci atau benda lain yang bisa membantu mereka membuka buku itu.

Sementara Theodore mencari-cari, Halfoy membolak-balik buku bersampul hitam itu, tetapi usahanya sia-sia. Buku itu seperti sebuah diary tua yang bergembok dan terkunci rapat, isinya tetap tersembunyi. Mereka bertukar pandang, keheranan bercampur rasa ingin tahu yang semakin besar.

Mereka akhirnya duduk di lantai perpustakaan, mencoba berbagai cara untuk membuka gembok buku itu. Setelah beberapa kali percobaan yang gagal, rasa frustrasi mulai muncul. Akhirnya, Halfoy menghela napas, menyerah lebih dulu.

“Baiklah, sepertinya kita yang terlalu berlebihan,” ujar Halfoy dengan nada yang terdengar lelah. “Tidak ada apa-apa sebenarnya. Buku yang kau temukan hanya buku biasa yang memuat imajinasi penulis yang luar biasa,” kata Halfoy.

Theodore kemudian mengambil buku yang sebelumnya digenggam Halfoy. Ia pandangi buku itu seolah ragu untuk melepaskannya begitu saja. “Lalu buku ini?” tanyanya, masih merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar buku diary biasa.

“Tidak bisa dibuka, bagaimana kita tahu buku apa itu. Mungkin saja hanya buku diary leluhur kita,” jawab Halfoy sambil bangkit berdiri.

Namun Theodore belum siap menyerah. “Karena kita tidak tahu, maka kita harus membukanya,” katanya penuh tekat.

Halfoy hanya bisa menghela napas panjang, melihat Theodore yang masih bersikeras. “Yasudah, kau saja yang coba membukanya. Ini sudah malam, dan aku ingin tidur,” katanya sambil perlahan melangkah keluar dari perpustakaan, meninggalkan Theodore sendirian dengan buku yang misterius itu.

Sementara Halfoy melangkah perlahan meninggalkan ruangan, Theodore tetap bertahan. Namun, sepertinya apa yang dikatakan Halfoy ada benarnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengembalikan buku itu ke dalam kotaknya. Namun, saat ia menutup kotak itu dan mengembalikannya ke lemari, suara aneh yang ia dengar sebelumnya kembali terdengar, kali ini lebih jelas. Suara itu, rendah dan menggema, berkata dengan nada yang menyeramkan, “Selamat datang, Halfoy”

Terdengar oleh Halfoy yang sudah hampir keluar dari perpustakaan, suara itu membuatnya segera membalikkan badan. Mata mereka bertemu dalam kengerian yang sama, mencari penjelasan atas apa yang baru saja mereka dengar. Namun, kali ini rasa takut lebih kuat daripada rasa ingin tahu. Theodore, dengan wajah pucat, segera menutup lemari itu dan berlari keluar dari perpustakaan, diikuti oleh Halfoy yang tidak kalah takutnya.

Keduanya berlari secepat mungkin menuju kamar masing-masing, berharap bahwa apa pun yang baru saja mereka alami hanyalah imajinasi belaka.
Namun, kamar yang biasanya menjadi tempat berlindung kini tidak mampu menenangkan Halfoy. Ia merasakan jantungnya berdegup dua kali lebih cepat, seolah tubuhnya merespon sesuatu yang tak terlihat.

𝐀𝐫𝐫𝐨𝐰 𝐨𝐟 𝐕𝐞𝐧𝐠𝐞𝐚𝐧𝐜𝐞 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang