17. Pelukan Pertama

614 30 0
                                    


Berita kehamilan Anin pun sampai ke telinga orang tua Atlas dan juga Arga sang kakak. Kehamilan Anin betul-betul membuat Indri dan Irwan bahagia. Bagaimana tidak, sebentar lagi mereka akan diberikan cucu pengganti sebagai rasa sedih atas kehilangan cucu pertamanya dari Arga.

Berkali-kali Indri memeluk Anin sebagai rasa syukur.

"Kamu harus jaga kandungan kamu ya sayang. Kamu nggak boleh kecapean sedikitpun. Untuk kamu, Atlas. Kamu harus jaga istri kamu dengan baik, jangan biarin Anin kecapean dan jangan bikin dia banyak beban pikiran karena ini bakal berpengaruh pada calon anak kalian."

Atlas hanya menganggukkan kepala sebagai respon. Melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah sang mama membuat Atlas ikut bahagia. Dia senang melihat mamanya bisa tertawaepas seperti itu.

"Kalau sampai Atlas macam-macam atau bikin kamu ngerasa nggak nyaman, langsung bilang sama Mama. Mama bakal omelin Atlas."

"Hehe, iya, Ma ..."

"Sebenarnya yang anak mama itu aku atau Anin sih? Kok mama jadi lebih sayang Anin ketimbang aku." Ucap Atlas cemburu.

"Mama itu juga sayang sama kamu Atlas. Cuma sekarang kan situasinya lagi beda. Anin itu jadi tanggungjawab kita karena kan orang tua Anin udah mempercayakan kita untuk menjaga Anin. Jadi kamu nggak usah cemburu sama istri sendiri."

"Siapa yang cemburu, aku cuma heran aja sih."

Indri tak lagi menghiraukan Atlas.

"Kalian nginep aja ya. Baliknya besok aja, takut Anin kecapekan."

"Duh nggak bisa gitu dong, Ma. Besok akunkam harus kerja. Aku nggak bawa baju sama sekali. Nanti aja lain kali."

"Kamu itu kayak kerja di perusahaan siapa aja. Lagian juga ada itu baju Arga. Kamu tinggal pakek aja,"

Seperti mendapatkan dukungan dari Irwan, Indri pun mengangguk semangat.

"Okey, okey aku nginep." Ucap Atlas yang akhirnya menyerah.

🌷🌷🌷

Suara Anin yang muntah-muntah di kamar mandi membangun Atlas dari tidurnya. Lelaki itu menegakkan tubuhnya dan mengubah posisi menjadi duduk. Dia melirik ke samping, tempat Anin tidur.

Pandangan Atlas beralih pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Dia yang masih setengah sadar pun berjalan menuju kamar mandi dan melihat Anin yang tengah muntah-muntah di wastafel.

"Kenapa sih, Nin? Kamu masuk angin?"

Anin belum menjawab. Dia masih sibuk membasuh mulutnya dengan air.

"Makanya kalau makan itu yang teratur. Sekarang kamu sendiri kan yang ngerasain. Apa penyakit lambung kamu kambuh?" tanya Atlas. Dia mulai menggosok punggung Anin hingga perempuan itu kembali memuntahkan seluruh isi perutnya.

"Tuh, kan."

Anin menyingkirkan tangan Atlas setelah merasa lebih baik.

"Bukan karena itu, tapi kerena hamil."

Anin berlalu dari hadapan Atlas. Padahal kemarin dia masih baik-baik saja tidak merasa mual sama sekali. Tapi sekarang dia merasa tubuhnya sangat lemah dan kepala yang amat pusing.

Apakah efek hamil baru terasa sekarang? Anin duduk di pinggiran ranjang dan memilih keningnya yang pening

Atlas masih mematung di tempatnya, ia menelan ludah dengan kasar, baru ingat kalau sekarang Anin tengah mengandung anaknya. Tanpa pikir panjang ia pun langsung menyusul Anin. Terlihat bahwa sekarang wajah Anin pucat yang menandakan bahwa dia tidak baik-baik saja.

Rasa khawatir perlahan-lahan menyelinap ke dalam hati Atlas. Bagaimana pun anak yang ada di dalam perut Anin adalah anak. Jika sesuatu terjadi pada Anin itu semua pasti akan berdampak juga pada calon anaknya.

Atlas duduk disamping Anin sambil mengusap bahunya pelan. Bahkan sekarang ia telah melupakannya rasa kantuknya begitu saja.

"Kalau masih pusing kita ke IGD aja ya. Aku takut kamu kenapa-kenapa."

"Nanti aja..."

"Mau aku pijitin biar lebih enakan?"

"Nggak usah, Mas. Nanti Mas nggak bisa tidur, besok kan harus kerja."

"Udah, nggak apa-apa. Kamu itu lebih penting. Sini biar aku pijitin, barangkali nanti bisa lebih enakan dan kamunya gak mual-mual lagi."

Atlas menggeser posisi Anin hingga perempuan itu kini membelakanginya. Tangan Atlas yang besar mulai memijit kedua bahu Anin dengan lembut.

"Aku nggak terlalu tahu gimana cara mijit yang benar. Tapi dulu saat aku sakit kepala Alina pernah mijit akunkayak gini. Lumayan mendingan." Kata Atlas.

Anin tak bergeming, pijitan Atlas memang lumayan membuatnya lebih baikan.

"Maaf ya, aku nggak bermaksud mengungkit soal Alina."

Sadar ucapannya melukai Anin ia langsung meminta maaf agar hal itu tidak membuat Anin kepikiran. Dia harus mematuhi perkataan dokter dan pesan Indri untuk menjaga perasaan Anin semasa hamil.

"I see ... Nggak masalah, nggak mudah juga buat kamu lupain Alina secara instan. Aku bakal ngeriin kamu, Mas. Aku bakal tunggu waktunya sampai kamu benar-benar bisa lupain Alina. Tapi aku mohon sama kamu, kamu harus benar-benar serius untuk belajar terima aku dan anak ini."

Tangan Anin mengusap perutnya dengan lembut. Anin bersyukur atas kehamilannya. Meski Atlas kemarin terlihat sempat menolak, ternyata sekarang dia malah berlaku sebaliknya. Anin semakin yakin bahwa pelan-pelan dia bisa membuat Atlas mencintainya dan mempertahankan rumah tangganya bersama lelaki itu.

"Makasih untuk pengertian kamu."

Anin tersenyum. Dia menegang tangan Atlas yang ada bahunya. Perlahan Anin mulai membawa tangan Atlas ke perutnya.

"Aku yakin meski kamu nggak bisa mencintai aku secepatnya tapi kamu bakal bisa mencintai dia secepatnya."

Atlas mengangguk dan tersenyum. Dia kembali melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah dua dini hari.

"Ayo tidur lagi, udah nggak mual lagi, 'kan?"

Anin menggelengkan kepalanya.

"Boleh aku tidurnya dipeluk kamu? Aroma kamu bikin aku lebih baikan, Mas. Mungkin ini bawaan bayinya."

Atlas mengangguk tanpa penolakan.

"Kalau itu yang bikin kamu jauh lebih baik nggak masalah."

"Makasih, Mas." Anin pikir Atlas akan menolak, apalagi sebetulnya ini hanya alibinya saja. Anin hanya ingin tahu bagaimana reaksi Atlas ketika dia meminta hal seperti itu. Ternyata Atlas tak melakukan penolakan sama sekali.

Keduanya kembali berbaring dan tidur di selimut yang sama. Semenjak menikah, ini kali pertamanya Anin bisa merasakan tidur sambil dipeluk oleh Atlas. Keraguan yang menggerogoti hatinya kembali seketika lenyap ketika mendapatkan perlakuan sederhana seperti ini dari Atlas.

Anin melihat tangan Atlas yang kini melingkar di perutnya kemudian melirik ke samping dan mendapati wajah Atlas Nyang kini begitu dekat dengannya.

Lelaki itu sudah kembali tidur dengan lelap dalam beberapa menit saja.

'Makasih udah mau belajar lebih baik lagi, Mas. Maaf kalau aku sempat menghadirkan anak ini atas keinginan aku sendiri. Aku harap ini adahal awal yang baik buat kita. Semoga kamu bisa secepatnya mencintai aku dan anak kita, Mas.' Kalimat itu terucap dalam hati Anin. Dia perlahan mengusap pipi Atlas dan ikut memejamkan mata. Malam ini, dia bisa tidur lebih nyaman dalam pelukan Atlas.








Dear Atlas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang