"Saya yakin anak saya anak baik, Bu! Saya yakin sekali!" Ibu mengatakannya dengan bersungguh-sungguh. Bola mata hitam legamnya menatap erat Bu Fifi.
Bu Fifi mengangguk dan tersenyum. "Saya juga yakin seperti itu, Bu. Tapi keyakinan dari Ibu, Bapak, Bu Zainab, dan saya belum cukup untuk membantu Mikail terbebas dari kepemilikan rokok dan korek tersebut. Harus ada bukti kuat yang bisa membuat Mikail tidak bersalah, atau setidaknya tuduhan kepemilikannya melemah."
Sekarang pukul tiga sore. Begitu bel sekolah berbunyi, aku segera ke Ruang BK, berkumpul bersama kedua orang tuaku, Bu Fifi, dan Bu Zainab-wali kelasku. Semalam, ketika aku selesai bicara, Ibu panik, dia berkal-kali bertanya bagaimana bisa aku membawa barang dilarang seperti itu, sementara Ayah, dia mempercayaiku, dan Ayah lah yang membantu menenangkan Ibu.
Aku menatap Bu Fifi. Ternyata dia mempercayaiku. Kemarin, aku pikir dia tidak percaya.
"Semalam saya sampai kaget sekali, lho, dikabari Bu Fifi anak didik saya terkena masalah seperti ini." Bu Zainab mengusap punggungku. "Karena selama di dalam kelas, baik ketika pembelajaran berlangsung, ataupun di luar kelas, Mikail itu anaknya ramah sekali, baik, sopan santunnya bagus."
"Ah, Ibu terlalu naif." Seseorang yang amat menyebalkan menimpali. Dia baru saja masuk ke Ruang BK setelah sibuk entah melakukan apa di ruang guru. "Selamat sore Ibu dan Bapak. Maaf saya baru datang."
Dia duduk di samping Bu Fifi. Aku menatapnya dengan tatapan tidak suka dan mengeraskan rahang. Guru macam apa yang menuduh muridnya tanpa bukti-maksudku bukti tambahan yang menguatkan bahwa kedua barang tersebut adalah milikku.
"Ibu yang namanya Bu Marlina?" Ayahku yang sejak tadi lebih banyak diam kini bersuara. Semalam aku memang bercerita sedikit tentang Bu Marlina. Tentang dia yang menemukan 'itu' dan sifat menyebalkannya.
Bu Marlina tersenyum dan mengangguk dengan agak menjijikan-berusaha anggun di hadapan kedua orang tuaku. "Betul. Saya Marlina. Saya yang pertama kali menemukan sebang rokok yang sisa setengah dan sebuah korek di dalam tas anak Bapak dan Ibu."
Ayahku mengangguk-anggukan kepala, menatap erat Bu Marlina. Aku tidak tahu itu tatapan apa.
"Bu Marlina dipanggil ke sini untuk apa, ya, Bu?" Fokus Ayah beralih ke Bu Fifi.
"Ah? Beliau yang menemukan pertama kali, Pak, jadi saya kira jika ada yang ingin ditanyakan perihal awal mulanya kejadian ini bisa dijelaskan lebih detail lagi oleh beliau."
Ayah melambai. "Tidak perlu, Bu. Saya sudah paham dengan situasinya, semalam pun anak saya sudah menjelaskan dengan sedetail-detailnya."
"Detail belum tentu jujur, lho, Pak," celetuk Bu Marlina.
"Maaf, maksudnya?" Kali ini Ibu yang bertanya. Sepertinya Ibu yang malah terpancing emosi, bukan Ayah.
"Seperti kata saya sebelumnya, 'detail belum tentu jujur'. Biar saya jelaskan bagaimana kejadian-"
"Tidak perlu, Bu. Terima kasih. Saya dan istri saya tidak ada pertanyaan, semua sudah jelas. Dan Ibu sepertinya sibuk, silakan Bu kembali melanjutkan aktivitasnya." Ayah membuka telapak tangan, mengarah ke pintu. Menurutku itu seperti mengusir. Aku menunduk, tersenyum kecil melihat wajah Bu Marlina yang nampak tidak percaya dengan sikap Ayah.
"Bapak, Ibu, sudah. Kita fokus kembali ke masalah ini, ya." Bu Zainab melerai. Dia memegang lengan Ibu dan mengangguk pada Bu Fifi, isyarat melanjutkan pembicaraan.
"'Yakin' belum cukup untuk membuat Mikail tidak bersalah. Jadi kita perlu bukti lain, seperti CCTV kelas, takut-takut ada teman yang jahil meletakkan barang 'itu' ke dalam tasnya. Namun, kemarin saya dan Mikail sudah memeriksa CCTV dari awal pembelajaran sampai sebelum razia, hasilnya nihil. Tidak ada siapapun yang jahil seperti itu."
Sejenak hening. Mataku dan Ibu bertemu. Tatapannya sulit diartikan, tapi aku tahu itu bukan tatapan bahagia.
"Bahkan kemarin ketika Mikail saya minta pulang, saya memeriksa juga rekaman dari dua hari sebelumnya. Dan hasilnya tetap nihil."
"Lalu ... b-bagaimana ini, Bu? Anak saya tidak mungkin seperti itu. Anak saya anak baik." Setetes air mata Ibu jatuh. Aku lantas memegang tangannya, berusaha menguatkan.
"Mik, sebelum ke kelas, apa kamu mampir ke kantin atau nongkrong di parkiran atau di suatu tempat di sekolah ini bersama anak lain? Ibu takut mungkin di tempat itulah ada anak yang jahil dan meletakkan barangnya di tasmu," ucap Bu Zainab.
"Aduh, Bu." Bu Marlina mengusap lengan Bu Zainab. "Kalau Ibu tanya seperti itu, dia malah punya ide untuk berasalan."
"Maksud Anda apa?" Ayah langsung menyahut. Dia mengeraskan rahang, nampak perbedaan wajahnya ketika mengeraskan rahang dan tidak.
"Pak, tenang, ya. Tapi menurut saya, memang anak Bapak yang bersalah. Mungkin di rumah, di kelas, anak Bapak kelihatannya baik. Tapi tidak ada yang tahu sisi gelapnya 'kan?"
"Anda itu guru, seorang pendidik, tapi kenapa yang keluar dari mulutnya seperti sampah?" Aku melotot, tidak kusangka Ayah berani mengatakan hal itu. Aku menengok pada Ibu, dia masih menangis, sekarang di dekap Bu Fifi.
"Bapak, Ibu, tenang-tenang. Mari kita berusaha selesaikan dengan kepala dingin, ya." Bu Zainab melerai lagi.
"Kalau seandainya tidak ada bukti yang membantu saya, dan saya dinyatakan bersalah, a hukumannya, Bu? S-saya ... dikeluarkan?" Itu pertanyaan yang sejak semalam berputar dalam benakku. Sejujurnya aku takut dengan jawabannya, tetapi aku lebih takut jika aku tidak mengetahuinya.
Bu Fifi diam sejenak. Ibu yang sepertinya paham lantas segera beralih, Ayah yang gantian mendekapnya. "Dilihat dari besar-kecilnya masalah, ini memang cukup besar. Namun, karena ini adalah kasus pertama kamu dan saya harap ini juga kasus yang terakhir, hukumannya hanya berupa surat peringatan."
"Surat peringatan ada dua levelnya. Surat peringatan pertama untuk kasus pertama, dan yang kedua untuk kasus kedua. Walaupun hanya surat peringatan, ini tidak bisa dianggap remeh juga. Sebab seluruh murid yang mendapat surat peringatan, baik yang level pertama ataupun kedua, akan dibahas ketika RKK, Rapat Kenaikan Kelas. Dalam pembahasan itu, akan dipertimbangkan oleh kepala sekolah, wakil kepala sekolah, dan seluruh guru, apakah murid tersebut pantas untuk dinaikkan atau mengulang. Tapi, biasanya untuk level pertama memiliki peluang lebih besar untuk naik kelas dibanding level kedua."
Aku menghela napas panjang. Kabar baiknya memang ada peluang, tetapi bukankah ini tdak adil? Barang itu bukan milikku, kenapa aku yang mendapat hukumannya? Sekali lagi aku menghela napas panjang.
---
Bersambung.
Jangan lupa vote, komen, dan follow!
Apresiasi dari kalian sangat berarti untukku.
Bab 5 minggu depan, ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surga dan Neraka
Teen Fiction[ Mini Novel | 15+ ] Matilah mati. Sudah waktunya kamu jatuh dan terkubur dalam tuduhan itu. Walau kamu tidak mengakui, tapi kamu akan tetap dianggap pelakunya. Matilah mati. Biarkan semuanya berjalan damai tanpa kehadiranmu lagi. Sudah waktunya...