1

6 0 0
                                    

Nina tersenyum puas kemudian menutup laptopnya. Hatinya terasa sangat tenang dan lapang saat ini. Kandidat teman satu apartemennya sangat mudah diajak bekerja sama. Lebih dari yang Nina bayangkan, pria bernama France itu bahkan mau membayar 70 persen bagian. Artinya Nina hanya perlu membayar sisanya.

"Aku harus setidaknya memberikan sedikit kesan baik."

Nina beranjak dari ranjang. Jika sesuai dengan rencananya, France akan tiba besok. Sebelum itu Nina ingin membersihkan apartemen agar France mendapat kesan pertama yang baik.

"Namanya tidak asing." Nina berusaha mengingat-ingat dari mana nama France Armani bisa terdengar tidak asing di telinganya.

"Apa kau bodoh?" seru Cecilla dari seberang.

"Lihat."

Nina memajukan wajahnya ke layar ponsel agar dapat melihat lebih jelas gambar yang sedang Cecilla tunjukkan padanya.

"Bukankah dia pembalap F1 di wallpaper ponselmu?" Nina menjauhkan wajahnya setelah mengenali wajah yang ditunjukkan oleh Cecilla.

"Ya! Kalau aku memiliki kesempatan melihatnya secara langsung aku akan meneriakkan namanya dengan seluruh jiwaku." Cecilla mengoceh.

"Namanya pasaran," komentar Nina. Wanita itu melakukan tes rasa pada sup ikan buatannya. Bibirnya melengkungkan senyuman puas kemudian mematikan kompor.

"Pasaran? Mahkluk mana di alam semesta ini yang memiliki nama France Armani selain FRANCE ARMANI!"

Tentu saja Cecilla tidak terima akan pernyataan Nina. Baginya, France Armani adalah kesempurnaan. Ketika kamera paparazi menjadi mimpi buruk bagi orang-orang terkenal itu, tapi tidak dengan France Armani. Ketika kamera berkualitas tinggi itu menangkap gambar France Armani, gambar itu seketika menjadi sebuah karya dengan jutaan dollars harganya.

"Kau tahu France adalah pria paling panas di muka bumi ini. Namanya adalah puisi ketika kau mendengarnya kepalamu tidak bisa berhenti memikirkannya. Dan caranya mengendalikan mesin di trek balap ..., ugh, aku—"

"Namanya sama dengan teman satu apartemenku. France Armani." Nina memotong perkataan Cecilla yang sedang memuja-muja pembalap F1 itu.

"Kau pasti bercanda." Cecilla terkekeh mengejek. "Jelas-jelas orang itu hanya menipu dengan menggunakan nama France agar disukai orang lain. Mana mungkin France Armani berbagi apartemen denganmu! Seorang France Armani biasa menunggangi Ferrari 400 juta dollars tidak bisa mengusahan sebuah tempat tinggal untuk dirinya sendiri? Leluconmu lucu sekali, Nina!"

"Aku tidak berharap pria itu adalah France Armani yang kau maksud. Terlepas dia berbohong atau tidak, aku hanya akan tetap tinggal di sini," ucap Nina seraya menyantap sup ikan di meja makan.

"Hey, kau harus berhati-hati. Bagaimana jika dia penjahat? Bagaimana jika kau dicincang menjadi beberapa bagian dan menjual bagian tubuhmu ke pasar gelap? Atau—"

"Sungguh, Cecilla, kau tidak membantu. Aku hanya butuh tempat untuk tidur dan makan. Jangan menakutiku dengan khayalan liarmu itu." Nina kehilangan nafsu makannya setelah mendengar ucapan Cecilla. Panggilan itu tidak berlangsung lama karena Nina ingin tidur siang. Meskipun saat ini Nina sudah 25 tahun, Nina masih tidur siang setiap ada kesempatan. Hey, orang dewasa juga butuh tidur siang, bukan?

Sepertinya belum lama Nina memejamkan mata, suara kegaduhan dari luar kamar membangunkannya. Nina memegang dadanya yang berdebar kencang seraya memakai sandal dan berjalan menuju pintu. Perkataan Cecilla sangat berpengaruh padanya. Dia benar-benar memikirkan seorang psikopat dibandingkan seorang anti sosial bernama France Armani.

"Jika aku mati hari ini semoga ada yang menemukanku sebelum dia menjualku ke pasar gelap," ratap Nina memohon kepada Tuhan.

Nina perlahan membuka pintu kamar dan mengintip. Terlihat seseorang berjongkok di depan pintu apartemen sedang merapikan barang-barangnya yang berhamburan di lantai. Pria itu memakai topi baseball hitam dan masker hitam yang menutupi hampir seluruh wajahnya. Nina mengambil napas sebelum berlari menyambar pisau yang ada di meja pantry kemudian menodongkannya ke arah pria itu.

"Siapa kau?" tanya Nina dengan suara gemetar.

Pria itu berdiri dari posisi jongkoknya. Tingginya mungkin 6 kaki lebih, memiliki bahu lebar dan lengan kekar yang tampak menonjol melalui kaus biru yang sedang dipakainya. Dadanya bidang namun memiliki pinggang dan perut ramping. Kemudian sepasang kaki yang panjang yang membuat Nina menebak 70 persen tinggi pria itu disumbangkan dari kaki.

Terlalu menarik untuk menjadi seorang pembunuh.

Hanya saja Nina tidak bisa mengukur rupa pria itu lantaran hanya sepasang mata saja yang terlihat di sana yang menatapnya tajam serasa membelahnya menjadi dua bagian.

"France? Kau France Armani?"

"Aku." Pria itu menjawab.

Nina menurunkan pisau di tangannya. Ah, ini jauh dari bayangannya. Menodongkan pisau seperti orang tidak waras bukanlah cara memberi kesan baik kepada teman satu apartemennya.

"Maafkan aku akan kejadian sebelum ini." Nina tersenyum canggung. "Aku baru selesai menonton dokumenter seorang pembunuh berantai dan memikirkan hal-hal aneh."

"Oh." Pria itu sangat minim bicara. Setelah hanya merespon demikian, dia berjalan menuju kamar sebelah.

Nina mengembalikan pisaunya pada tempatnya ketika dia melihat panci di atas kompor.

"Hey, France. Aku tadi memasak sup ikan. Sebagai tanda permintaan maafku mungkin kau mau mencicipi semangkuk?" kata Nina di depan kamar France yang masih terbuka pintunya.

"Tidak." France menjawab tanpa menghadap ke arah Nina. Dia sedang meletakkan barang-barangnya di samping ranjang di dalam kamar.

"Ok." Nina mengedikkan bahu dan balik badan menuju kamarnya di sebelah.

Pria yang sulit didekati.

🏁🏁🏁

Author's note :

Hanya mengisi waktu luang dan mengeluarkan keruwetan di kepala. Tinggalkan komentar kalau kalian baca biar aku tau kalian suka cerita ini💋

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FATAL ATTRACTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang