"Siapa kalian? Kenapa mengepung kami?" teriak Ardan.
Si laki-laki bertato melotot lalu meludah ke tanah dengan tangan menunjuk ke arah Ardan. Ada belati runcing tergenggam di jemari. "Kami siapa? Bukan urusan lo. Cuma mau bilang, sebaiknya pergi kalau mau nggak pincang!"
Ardan bertukar pandang dengan teman-temannya, tentu saja semua ketakutan dikeroyok preman. Anehnya Rexton terlihat tenang, ia menduga ada yang tidak beres.
"Jangan bilang kalau preman ini suruhan lo!"
Rexton mengangguk. "Bukan suruhan tapi temen. Mereka temen-temen gue."
"Pantes aja, orang miskin kayak lo pasti temenan sama sampah."
"Anjing lo, ya!" Si preman bertato memaki. "Sedari tadi gue dah sabar-sabarin biar lo kabur. Malah mancing emosi gue!"
Ardan mengangkat dagu, menolak untuk mengalah dan pergi. "Emang bener yang gue bilang, kalau kalian semua sampah! Ingat, keluarga gue pengacara semua. Kalau sampai sedikit aja gue luka-luka, kalian tanggung akibatnya!"
Si Tato terbeliak, menoleh ke arah teman-temannya. "Woi, kita ngadepin pengacara. Takut nggak tuh?"
"Takut banget!"
"Takut sekali!"
"Ampe kencing di celana, saking takutnya gue!"
Para preman saling pandang lalu tertawa bersamaan. Membuat Ardan menjadi semakin marah. Ia menatap Rexton yang berdiri tenang dengan penuh kebencian. Tidak menyadari saat si tato mendekat.
"Jangankan keluarga pengacara, keluarga menteri juga bisa kita ilangin kalau mau. Kita gebuk rame-rame, injak-injak sampai tulang patah setelah itu mayat buang ke laut. Nggak masalah masuk penjara, tapi kalian hilang. Mau coba?"
Temna-teman Ardan mulai gentar. Mereka bersiap-siap pergi dan menarik ujung pakaian Ardan. Meskipun marah tapi pikiran Ardan masih waras. Ia mengepalkan tangan, bersungut-sungut pada Rexton sebelum pergi.
"Gue nggak akan tinggal diam setelah ini. Lihat aja pembalasan gue! Babi lo semua!"
Para preman bersorak saat Ardan dan teman-temannya bergegas pergi. Rexton menghampiri si tato, menjabat tangan dan mengucapkan terima kasih. Setelah semua orang bubar, Fiore yang kakinya mendadak lemah duduk di kursi dengan gemetar.
"Fiore, kamu nggak apa-apa?" tanya Rexton kuatir. Wajah Fiore sangat pucat.
Fiore menggeleng. "Aku nggak apa-apa, cuma takut aja. Ardan songong sekali, untung ada para preman itu. Ngomong-ngomong, gimana caranya kamu kenal mereka? Maksudku para preman itu?"
Rexton menyeringai dengan wajah menyiratkan rasa nakal. "Dari dulu udah kenal mereka. Kalau restoran sedang ada makanan sisa, sering aku bungkus untuk mereka. Bukan sisa makanan orang, tapi hidangan yang udah terlanjur dimasak."
"Iya, aku tahu maksudmu."
"Dari situ kami mulai akrab. Kadang-kadang kalau mereka lapar memang suka minta makanan atau rokok."
"Pantas aja. Untung mereka datang, kalau nggak?"
"Nggak usah dipikir. Kamu belum makan'kan? Ayo, kita ke restoran mi. Lagi ada diskon."
"Perasaan diskon melulu?"
"Kenapa protes, yang penting perut kita kenyang. Bisa jalankan?"
"Bisalah!"
Rexton menggiring Fiore ke arah motor, dan berlalu diiringi tatapan para preman yang bersembunyi dalam bayang-bayang. Ada sekitar sepuluh orang, menatap motor Rexton yang menjauh.