23 - bangkok

404 18 2
                                    

Thailand

Suatu pagi di salah satu mansion kawasan Sukhumvit, dua orang perempuan baru saja selesai melakukan sesi yoga di dekat kolam renang. Suasana tenang di sekitar kolam renang dilingkupi oleh taman terawat dengan baik dan pohon-pohon hijau. Pelatih yoga mereka, seorang pria berkepala botak, Kham, berdiri di samping mengelap keringat dari dahinya dengan handuk kecil sebelum berbincang ringan duduk di kursi santai dan menikmati sinar matahari lembut.

Di sebelah Sara, Nittha, mengenakan legging yoga hitam dan atasan biru cerah sedang meraih croissant Paul yang masih hangat. Croissant disajikan bersama teh hijau Ippodo, menjadi favorit mereka selama ini untuk sarapan pasca yoga. Mereka juga menikmati beberapa buah segar—kiwi, stroberi, dan melon yang diatur di atas piring.

Hingga kemudian, Kham dan Nittha membicarakan Khun Pailin yang baru saja kembali ke Bangkok setelah 'eksodus' singkatnya ke Eropa, dan kini membeli mansion baru di Sukhumvit. Kabarnya, semua furnitur diimpor langsung dari Prancis, dan katanya dia akan mengadakan pesta perkenalan besar-besaran minggu depan. Nittha, dengan nada sinis, mencibir sambil menyeka lemak dari croissant. "Katanya, semua barang di rumah barunya itu adalah barang-barang yang 'langka dan eksklusif'. Seolah-olah kita belum pernah lihat kursi bergaya Louis XV sebelumnya"

Keluarga itu, setelah berambisi ke luar negeri, kini kembali ke Bangkok itu seperti kembali ke arena pertandingan. Namun Sara tak tahu banyak, ia hanya mengangguk-angguk saja sebelum lebih memilih memainkan ponsel. Nitty-gritty social battle itu tampaknya akan jadi tontonan yang menghibur.

Nittha melanjutkan dengan nada penuh sinis, "Masalahnya, Khun Pailin dan aku punya sejarah panjang. Dia pernah mencoba mengalahkanku dalam lelang furnitur tahun lalu, dan dia menang bukan karena punya selera seni yang bagus tapi karena dia muncul dengan seluruh tim legalnya. Rasanya seperti berhadapan dengan geng mafia Italy daripada sekadar pesaing dalam lelang." Ia kembali mengingat meja tengah Louis XIV yang diwarisi oleh Sir Francis Dashwood, tak berhasil didapat.

Kham menaikkan alis tertarik, "Oh? Jadi, ada masalah personal di sini?"

"Masalah personal?" Nittha menertawakan. "Dia bahkan punya audacity untuk mengklaim bahwa koleksinya adalah yang paling autentik di seluruh Bangkok. Seakan-akan dia sendiri yang merancang furnitur Prancis itu!" Bagi Nittha, kalah dalam lelang yang dipenuhi dengan drama seperti itu, terutama oleh seseorang yang dianggapnya sombong, adalah hal yang sangat menyebalkan.

Sementara Sara yang masih bermain ponsel daripada mendengar percakapan itu, baru saja hendak menjawab pesan Adam yang bertanya ia akan kemana saja hari ini, tiba-tiba pria itu sudah meneleponnya. Sara pun beranjak dan berjalan menuju kamar setelah ijin menjawab telepon pada Nittha dan Kham.

"Ya?" jawab Sara seraya berjalan naik tangga.

"Aku rencana ke Bangkok pagi ini," tembak Adam, membuat Sara yang masih berada di tengah tangga berhenti bergerak.

"Hah?" Perempuan yang masih dalam balutan pakaian yoga dari Manduka itu kemudian barulah lanjut berjalan.

"Kenapa? Kaget?"

"Maksudnya apa? Rencana? C'mon ini udah pagi, bukan rencana lagi loh."

"Iya juga, sekarang aku lagi di jalan sih ke bandara," kata Adam bernada ringan.

"Tiba-tiba banget. Trus nanti aku jemput jam berapa?"

"Sendirian?"

"Um—sama Jay kali."

"Jam setengah dua aja, supaya kamu nggak nunggu."


A Sweeter PlaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang