25: Puncak Hilangnya Harapan 2

726 119 25
                                    









25

### Konfrontasi yang Tak Terhindarkan (POV SHANI)

Aku menunggu dengan gelisah di sebuah tempat berteduh yang ada di dekat parkiran fakultas. Hujan gerimis mulai turun, menambah suasana yang sudah sendu.

Aku duduk di sana, berharap bisa bertemu Chika. Firasatku mengatakan bahwa dia akan keluar dari gedung fakultas itu sebentar lagi, dan aku harus berbicara dengannya.

Pikiran negatif tak henti-hentinya mengalir dalam benakku. Gito yang menghilang tanpa jejak, tanpa kabar, dan sekarang, fakta bahwa Chika tahu lebih banyak tentang keadaannya daripada aku. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Gito tidak mengabariku? Apa yang Chika ketahui yang tidak aku ketahui?

Kucoba mengusir pikiran-pikiran buruk itu, tapi semakin aku berusaha, semakin kuat mereka menghantui pikiranku. Apa mungkin ada sesuatu yang disembunyikan Gito dariku? Dan jika iya, kenapa harus Chika yang tahu, bukan aku?

Tak lama kemudian, aku melihat seorang wanita berdiri jauh dariku. Dia berdiri tegak, seakan tidak ingin melangkah lebih dekat. Aku mengenalinya—itu Chika. Sejak keluar dari gedung fakultas, dia sudah melihatku duduk di sini, dengan tatapan kosong.

Chika berjalan santai, mendekat ke arah luar kampus, tapi aku tahu dia sedang berusaha untuk menghindariku. Aku tidak bisa membiarkan dia pergi begitu saja. Ini kesempatanku untuk mendapatkan jawaban.

"Chika!" panggilku, suaraku sedikit bergetar.

Chika berhenti sejenak, lalu menoleh ke arahku. "Oh, hai Kak Shani," sapa Chika dengan nada ringan, mencoba untuk tampak tak acuh.

Aku berdiri dan berjalan mendekat. "Kamu mau ke mana?" tanyaku, mencoba bersikap santai, meski hatiku berdebar kencang.

"Pulang kak, barusan bimbingan dengan dosen ku!," jawab Chika dengan senyum tipis, tapi aku bisa melihat keraguan di matanya.

"Kakak ada kuliah tamu ya di kampus?" Dia mencoba basa-basi, mungkin berharap aku tidak mengarah pada topik yang sebenarnya.

"Enggak, Chika," jawabku dengan nada datar, mencoba menyembunyikan emosiku yang mulai memuncak.

"Oh, kalau begitu kakak ada urusan ya? Kalau gitu, aku pergi dulu ya," Chika mulai melangkah pergi, seolah ingin menghindar dari pembicaraan yang sudah di depan mata.

Tapi aku tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja.

"Chika!"

Aku memanggilnya dengan nada yang lebih tegas. Chika berhenti, menoleh dengan ekspresi sedikit terkejut. "Aku tahu, kamu paham urusan apa yang membuat aku berada di sini."

Chika terdiam sejenak, kemudian tersenyum tipis, seolah mengakui bahwa dia tahu persis kenapa aku mencarinya.

"Bisa kita bicara sebentar?" tanyaku, mencoba menenangkan diriku.

"Ok, boleh," jawab Chika, kali ini suaranya lebih tenang. "Tapi enggak di sini. Di depan ada kafe, kayaknya lagi sepi."

Aku mengangguk, merasa lega bahwa Chika bersedia bicara. "Ok. Ayo, aku traktir kamu apapun yang kamu pesan."

Chika tertawa kecil, "Hahaha. Nyogok nih, Kak ceritanya?"

Aku hanya tersenyum samar, tidak terlalu memedulikan candaan itu. Yang terpenting bagiku sekarang adalah mendapatkan jawaban.

Kami berjalan bersama menuju kafe yang dimaksud Chika. Sepanjang jalan, pikiranku terus berkecamuk. Aku harus tenang, harus mendengar apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, semakin dekat kami ke kafe, semakin kuat perasaan tidak enak yang kurasakan.

CERITA DIBALIK KONTRAK (GITSHAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang