Kira-kira, apa namanya jika kita menaruh hati pada sosok yang telah dimiliki adik sendiri?
Kata orang, cinta tak bisa memilih kepada siapa dia hendak bertuan. Demikian yang terjadi pada Mehra, wanita yang justru dihampiri perasaan bernama cinta dan suka terhadap calon adik iparnya. Tapi, yang Mehra tahu, cinta tak pernah salah.
“Gue bisa gila kalau gini terus.”
Mehra merobek buku catatan hariannya yang menjadi tempat berlabuh bagi segala keluh kesah yang dijalani—termasuk jatuh cinta pada sosok Rimba Sagala.
“Kenapa lo malah milih adik gue si, Rim? Seharusnya lo itu pilih gue.”
Mehra menggebrak mejanya, ia bangkit dan berdiri di depan cermin. Catatan terakhir yang Mehra tulis di bukunya adalah tentang perasaan yang memberontak karena hanya tinggal menghitung jam sebelum Rimba dan Dera terikat dalam hubungan berjudul Rumah Tangga.
Kekesalan dan rasa isi memenuhi hati seorang Mehra, ia sampai lelah karena kepalanya terus bekerja untuk mencari cara; bagaimana agar pernikahan adiknya, Dera, bisa dibatalkan?
Bukan berharap agar semuanya berjalan lancar, tetapi Mehra malah memiliki rencana keji yang masih dalam proses pertimbangan matang-matang.
“Lo gila kalau berusaha ngerusak acara ini, Ra,” cicit Mehra.
Lalu, wanita berumur lebih dari dua puluh lima itu menggeleng. "Tapi lo bisa lebih gila lagi kalau lihat mereka resmi jadi pasangan yang abadi."
Mehra kelimpungan, cinta memang mampu membuat siapapun empunya menjadi gelap mata. Hanya saja, ia tak sempat merenung dan memilih satu dari banyaknya pilihan yang memenuhi isi kepalanya. Sebab pintu kamar hotel diketuk, menandakan jika Mehra sudah terlalu lama membuat keluarganya menunggu.
“Lama banget, Ra? Adikmu udah mau akad,” tegur Mona, wanita berparas ayu yang kulitnya masih terlihat kencang walaupun usianya sudah menginjak empat puluh dua tahun.
“Iya, Ma, iya.”
Mehra terburu-buru, bersama Mona ia dituntun untuk sampai di lokasi acara. Terutama Mehra yang meminta menjadi pendamping Dera saat akan menemui Rimba yang menunggunya di ujung karpet merah, saat di detik-detik terakhir sebelum acara pernikahan digelar.
“Gandeng gue, Kak,” pinta Dera.
Mehra hanya melirik, sebuah pintu berbahan kayu jati masih tertutup rapat di depan keduanya. Dan saat pintu terbuka, Mehra baru memutuskan untuk menggandeng hangat tangan sang adik, Dera. Karpet merah menyambut, sisi kanan-kiri yang dipenuhi para sahabat dan tamu undangan yang hadir, turut merestui pernikahan Dera dan Rimba. Sekali lagi, Mehra iri.
Langkah demi langkah disusuri oleh Dera, senyuman dan sorot netra yang lembut mampu membuat hati Rimba seperti dielus manja. Pria itu juga berdiri, menatap si putri bulan—panggilan sayang terhadap Dera, dengan penuh rasa cinta.
Jangan tanyakan Mehra, mimik wajah masam susah payah disembunyikan sehingga hanya nampak seulas senyum palsu yang menghiasi dirinya. Dalam benaknya, Mehra hanya ingin berteriak pada Rimba bahwa ia telah jatuh cinta pada si pemilik rambut ikal itu. Namun, lagi-lagi Mehra memendam dan hatinya bertanya; Sampai kapan, Mehra?
Mehra berusaha menyeimbangkan langkahnya, pun gandengan tangannya dengan Dera terasa sudah terlalu longgar. Wajar saja, Mehra berjalan di tengah karpet merah dan mengantar Dera pada tujuan hidupnya, tak lebih hanya untuk melihat Rimba, si tampan, dari jarak yang dekat.
Mehra candu dengan aroma wewangian Rimba, hidungnya pun masih ingin dimanja oleh wangi yang khas dari sosok bertubuh semampai itu. Sebab oleh raksi tubuh Rimba yang menguar masih bisa Mehra nikmati dalam ruang unit apartemen, tepatnya dua malam sebelum pernikahan pagi ini terjadi.
————
Pekanbaru, 17 Agustus 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Salah Berlabuh
General FictionKatanya cinta tak pernah salah sebab tak bisa memilih kepada siapa mereka bertuan.