One Night With Stranger

286 23 1
                                    

"Every journey with a stranger adds a chapter to our life's story" 

Jakarta, malam hari.

Sudirman, dengan lampu-lampu neon yang membias di jalanan, masih gemerlap malam itu. Pukul 8 malam, Meen, seorang pegawai kantoran berusia dua puluh delapan tahun, baru saja keluar dari gedung perkantoran tempatnya bekerja. Dia merasa lelah setelah seharian berkutat dengan laporan dan rapat yang tak berujung. Langkahnya terasa berat saat ia menyusuri trotoar, mencari angkutan untuk pulang ke apartemen.

Sementara itu, di sekitaran stasiun Sudirman, Ping, seorang mahasiswa berusia dua puluh tahun, baru saja selesai bekerja di kafe kecil tempatnya berkerja. Dia mematikan lampu dan membersihkan meja, berusaha untuk menyelesaikan tugas-tugas kecil sebelum pulang ke rumah. Kafe itu, yang biasanya ramai di siang hari, kini sepi dan tenang. Ping merasa lega setelah seharian melayani pelanggan dan menyelesaikan tugas kuliah.

Kedua dunia ini, yang terpisah oleh jarak dan kesibukan, bertemu secara tak terduga di tengah kota yang sibuk. Meen akhirnya memutuskan untuk berjalan kaki ke stasiun kereta, berharap perjalanan pulang bisa menjadi waktu untuk merenung. Sementara itu, Ping memutuskan untuk mengambil rute jalan kaki melalui kawasan Sudirman, menikmati sejenak udara malam sebelum pulang ke rumahnya di Blok M.

Saat Meen melewati sebuah taman kecil di sepanjang jalan, ia berhenti sejenak untuk menikmati secangkir kopi yang baru dibeli. Keduanya, dengan kehidupan yang sangat berbeda, bertemu secara kebetulan di sebuah persimpangan sibuk di tengah kota. Meen, asyik dengan earphone-nya, tidak menyadari Ping yang juga terbenam dalam pikirannya sendiri. Mereka bertabrakan, dan kopi panas dari cangkir Meen tumpah ke tanah.

"Ah anjiirr, kopi gue!" Meen mengeluh, sambil melihat kucar-kacir kopi yang tercecer.

Ping segera merespons dengan senyum ramah. "Maaf, maaf, maafkan saya, sepertinya saya kurang hati-hati. Biarkan saya membantu. Kakak nggak papa?"

Meen menatap Ping dengan mata lelahnya. "Oh, terima kasih, oh saya gak papa. Kopinya hanya mengenai baju saya sedikit."

Ping menggerutu pada dirinya sendiri, "Aah kebetulan, saya baru saja selesai bekerja dan tahu ada kafe di dekat sini. Bagaimana kalau kita ke sana? Saya akan mentraktir kopi sebagai permintaan maaf."

Meen merasa heran namun senang dengan tawaran Ping. Mereka berjalan bersama menuju kafe kecil di sudut jalan, suasana malam menjadi semakin romantis dengan sinar lampu yang lembut. 

Di cafe yang tenang dan nyaman, mereka duduk di meja pojok dan memesan kopi. Pembicaraan mereka dimulai dengan obrolan ringan, tetapi segera berkembang menjadi diskusi yang lebih mendalam. Meen bercerita tentang rutinitasnya yang monoton di dunia korporat, sementara Ping mengungkapkan impian dan tantangan sebagai mahasiswa yang bekerja sambil kuliah.

"Woaahh diliat dari lanyard -nya sudah terlihat jelas bagaimana tidak lelah, kakak kerja di perusakan big4 di Jakarta. Pasti tekanannya sangat berat bukan?"

"Ahhh saya lupa melepasnya." Dengan segera Meen melepas tali yang mengalung di lehernya dan menyimpannya ke dalam tas.

"Ih kenapa? Harusnya bangga tau bisa kerja disana."

"Tidak juga..."

"Ihh kok kayak nggak bersyukur gitu?"

"Maksudnya?"

"Nggak ada maksud apa-apa hehhe, maaf," Ping meneguk coklat dingin yang dia pesan. 

Setelah beberapa saat berbincang dan menikmati minuman mereka, Ping tiba-tiba memiliki ide yang menarik. "Kak, saya tahu tempat yang mungkin bisa membuat perasanaan sedikit lebih baik," katanya dengan semangat. "Bagaimana kalau kita pergi ke sana dan berteriak sepuasnya?"

Our Story [MEENPING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang