ch 07 : bisakah kita membiarkannya sendiri?

101 14 4
                                    

Rumah itu tampak sangat megah berdiri di hamparan tanah yang luas. Bahkan setelah rumah itu dibangun, tanah yang tersisa masih banyak, hingga dialih fungsikan menjadi hamparan bunga. Rumah itu dibatasi dengan pagar kokoh khas korea nan tinggi, seolah membatasi diri dengan dunia luar.

Pemuda yang memiliki tubuh kecil itu memasuki rumah setelah para penjaga rumahnya menyapanya dengan ramah sebelumnya. Pintu dihadapannya menjulang tinggi-mengikuti bentuk rumah. Pintu itu terayun dengan pelan membuat seberkas cahaya luar masuk dalam temaramnya rumah.

Tak ada siapapun yang berada di rumah untuk menyambutnya. Pemuda itu menghela napas lelah lalu beranjak ke kamarnya yang berada di lantai atas. Ia perlu menikmati waktunya sekarang sebelum seseorang menganggunya nanti.

Layar ponselnya menyala sebentar, namun Taehyun memilih mengabaikan pendar cahaya itu. Berkali kali ia menghela napas, seakan kamarnya yang besar ini tak mampu menetralkan rasa sesaknya.

Matanya tertutup dan kegelapan menyambutnya. Benar, Taehyun hanya ingin tidur sekarang.

Sayangnya hanya beberapa menit matanya tertutup, ia merasakan pintu kamarnya dibuka secara kasar. Taehyun bisa menebak bahkan tanpa membuka matanya. Lebih baik ia berpura pura tidur sekarang.

Pemuda bertubuh kecil itu merasakan kerahnya ditarik dan dipaksa bangun. Apakah pria itu tak bisa berbasa basi? Ucapan salam atau memanggil namanya tak akan menghabiskan energinya.

"Kang Taehyun," Suara dingin itu terucap ketika Taehyun membuka matanya. Wajahnya berhadapan langsung dengan guratan wajah yang ia panggil dengan sebutan appa itu. Pemuda itu memilih diam menunggu ucapan appanya selanjutnya.

"Lihatlah bagaimana kau mempermalukanku," Suara dingin itu mendesis. Kang Woojin, ayahnya melepaskan kerahnya dengan kasar ke kasur. Ayahnya tak akan pernah main tangan secara langsung padanya.

"Apa yang ku lakukan?" Taehyun berusaha menetralkan napasnya yang gugup. Mata bulatnya menatap Kang Woojin dengan tatapan bertanya.

"Bagaimana bisa anak dari seorang aktor terkenal debut menjadi idol yang suka menari tidak jelas? Kapan kau akan membanggakanku? Kurasa kegagalan dua kali itu tak membuat semangatmu runtuh,"

"Tapi orang orang bahkan tak mengetahui siapa anakmu, appa," Hati Taehyun terasa memberat, "Kau bahkan tak pernah menganggapku sebagai anak," Kenangan di kepalanya kembali terputar ke masa kecilnya yang penuh kesepian,

"Mungkin kalau bukan karena eomma, kau sudah membuangku. Aku tau kau membenciku. Kenapa kau bersikap seolah mengakuiku sebagai anak sekarang? Ketika aku akan debut menggapai impianku? Bukankah kau bisa melanjutkan sikap tak acuhmu?" Untaian kalimat yang sebelumnya terpendam dalam hatinya itu kini mengalir tanpa hambatan. Taehyun benar benar tak bisa mengenali emosinya sendiri. Padahal ia sudah terbiasa dengan kehilangan sosok ayah, mengapa sekarang pria tua itu seolah mengakuinya sebagai anak?

Kang Woojin menggeram marah. Untuk pertama kalinya, ia meluncurkan pukulan pada anaknya. Pukulan telah di ulu hatinya membuat Taehyun terbatuk keras, "Mungkin wanita jalan itu mengajarimu hal yang buruk. Lihatlah bagaimana kasarnya kau dengan appa mu sekarang,"

Taehyun mendelik, "Setidaknya yang kau sebut jalang itu yang membesarkanku dengan penuh perhatian. Kau tak berhak mengatakan eommaku ketika kau sendiri lebih buruk dari binatang,"

Pukulan ia dapatkan kembali di tempat yang sama. Itu baru dua pukulan, tapi Taehyun merasa kewalahan. Pemuda itu mengerang memegang perutnya erat, berusaha menjaga jarak dari pria tua itu.

"Kemarilah," Titah itu dikeluarkan dengan mata penuh ancaman. Tentu saja Taehyun tak akan melakukannya. Ia melangkahkan kakinya mundur hingga membuka pintu balkonnya dan berdiri di ujung pembatas. Pemuda itu mencoba tersenyum meski sedikit kaku,

One DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang