Case 1: Bloody Lighthouse

10 1 0
                                    

Kapal yang kami tumpangi bergerak santai membelah ombak menuju sebuah pulau kecil di utara Kepulauan Bangka Belitung. Setelah lebih kurang 2 jam perjalanan dengan pesawat dari Jakarta ke Pangkal Pinang, kami melanjutkan dengan kapal ke pulau tujuan kami.

Aku dan teman-teman ku, Dinda, Bagas, Dion, Arumi, dan Mayang. Kami berenam berlibur ke sebuah pulau tanpa ditemani orang dewasa, rasanya seperti cerita di sebuah novel.

"Dira! Oy Diranda! Denger gak sih?" seru Mayang sembari menggoyangkan badanku, membuat lamunanku buyar

"Hah? Apa?" tanya ku

"Aku tanya, kamu bisa bantuin angkat tas cewek-cewek gak? Bagas sm Dion udah nolak duluan," sahut Mayang

"Ya gak masalah sih. Lagian kita cuma seminggu, ngapain bawa barang banyak?" kataku menanggapi sekaligus bertanya

Belum sempat Mayang menjawab pertanyaanku, kapal yang kami tumpangi telah berlabuh. Bagas dan Dion segera menuruni kapal dengan barang bawaan mereka masing-masing.

"Lah, si Dinda nangis kenapa tuh?" tanyaku pada Mayang saat mengangkat barang bawaanku sendiri dan barang para gadis.

"Oh, tadi dia berantem sama Bagas. Mungkin gegara itu dia nolak bantu bawa barang kita-kita, kalo Dion gak tau deh," sahut Mayang yang membantuku mengangkat tasnya.

Kami berjalan ke sebuah rumah yang telah disewakan oleh paman Arumi untuk kami. Sepanjang perjalanan kami melewati beberapa orang wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Di luar dugaan, karena pulau ini bukan pulau utama.

Setelah berjalan kaki lebih kurang 15 menit, akhirnya kami tiba di rumah singgah kami. Segera saja aku meletakkan barang-barang bawaan para gadis di ruang tamu.
Suara berkelontangan terdengar saat aku meletakkan tas Arumi. Dia membawa besi?

"Kamu bawa apaan sih Arumi?" tanya Mayang yang juga mendegar suara berkelontangan itu

"Ah, itu suara tumbler-tumbler ku. Bahannya stainless, jadi wajar berisik kalau beradu," ucap Arumi sambil buru-buru mengeluarkan 2 buah tumbler berwarna hitam dan silver

Mayang tertawa sementara Arumi tersenyum canggung. Apa yang sebenarnya disembunyikan Arumi? Tapi pikiran itu aku tepis dan tetap mencoba positif.

"Eh guys! Kita ke mercusuar yuk!" seru Dion dari depan pintu

"Besok aja deh, capek tau baru sampe juga!" sahut Mayang sambil selonjoran di sofa diikuti anggukan oleh Arumi

"Aku ikut," kata ku

Aku dan Dion berjalan menuju mercusuar. Bangunan itu tinggi menjulang dan tampak sedang dicat. Warna merahnya yang mencolok tampak berkilau tertimpa sinar matahari.

Tak lama dua orang pria paruh baya keluar dari pintu di kaki mercusuar, keduanya menenteng alat-alat yang mereka gunakan untuk mengecat.

"Sudah selesai ngecatnya pak?" tanya Dion

"Iya baru saja. Tapi adek-adek jangan naik ke dek observasi dulu ya, catnya masih basah. Nanti baju kalian kotor," kata salah satu pria yang berbadan gemuk pendek.

Kami berdua mengangguk dan memilih duduk di di bangku tak jauh dari sana selagi kedua tukang cat itu berlalu meninggalkan kami.

"Kamu tau ada masalah apa antara Bagas sama Dinda?" tanyaku memecah keheningan

"Oh masalah kecil doang sih sebenernya. Tapi ya kayak lu gak tau Dinda aja, masalah sepele pun bisa jadi ribut besar," sahut Dion

"Masalah apa emang?" tanyaku lagi

"Ya cuma masalah Bagas bilang Dinda gendutan doang," jawab Dion sambil terkekeh

Aku dan Dion mengobrol sampai matahari hampir terbenam. Tanpa kami sadari tiba-tiba saja sekeliling kami menjadi sepi, nyaris tidak ada seorangpun yang melintas seperti saat siang.

Detective BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang