Gemercik pancuran air baru saja berhenti serempak laki-laki tinggi bertelanjang dada tampak keluar dari kamar mandi. Langkah diayun ke wastafel, memperlihatkan pantulan bayangnya pada cermin berukuran setengah badan. Julian Bellamy tidak akan pernah gagal sebagai yang rupawan, meski dia kerap mengabaikan fakta dan tidak merasa perlu bersorak untuknya. Raut tenang pula menyimpan segudang cerita rahasia.
Deo spray disemprotkan jangka Julian mengenakan sweter putih berlengan panjang. Rambut gondrong nan bervolume membingkai garis pipi yang tegas membujur ramping. Tiada kebanggaan terbaca, melainkan begitu berat beban terpancar pada binar matanya.
"Take-off jam berapa pesawat, Lo?"
"Sejak kapan lo di situ?"
"Gue bahkan udah di sini pas lo keluar dari kamar mandi."
"Setan lo, ya? Bisa-bisanya gue gak tau lo masuk." Si tertuduh sekadar menarik tipis sebelah sudut bibirnya, memilih merapatkan diri ke dinding di sisi cermin sambil menyelipkan kedua tangannya ke saku celana.
"Kalo gue beneran setan, gue pasti udah merasuki lo dari dulu. Apa masalah lo separah itu sampai lo kelewat cuek? Gue ngetuk pintu berkali-kali. Gue manggil lo, gue juga tanya lo udah bersiap apa belum."
"Gak dengar gue, Sandy. Sumpah!" Dijawab seadanya oleh Julian di saat dia hampir rampung merapikan rambutnya.
"Lo perlu space untuk menikmati hari, Julian. Gak semestinya juga masalah itu lo pikirin selama dua puluh empat jam. Hasilnya ya begini, lo sering termenung atau gak fokus sama sekeliling lo."
"Udah, gak usah dibahas. Gak ada pengaruhnya buat gue, San. Mungkin emang ini takdir yang harus gue terima."
"Gue ngerti maksud lo. Dan gue juga gak bermaksud menggurui di sini. Tapi, selagi kita masih muda dan berkesempatan kenapa gak mencoba untuk melakukan perubahan. Sebagai teman, gue cuma menyarankan agar lo bisa sekurang-kurangnya menghargai keberadaan lo di dunia ini."
"Terimakasih San untuk perhatian, Lo. Gue hanya akan berusaha supaya apa yang udah ditentukan untuk hidup gue bisa gue jalani tanpa kendala."
Sandy tertunduk dalam diam, cukup lelah dengan semua pengakuan serupa. Julian benar dan dia juga hanya berniat menyemangati temannya itu.
"Semisal lo butuh bantuan, tolong lo jangan ragu menghubungi gue."
"Datang ke Jakarta di waktu lo senggang. Gue tau lo sesibuk apa, San. Gak mungkin gue tanpa pikir mengganggu hari-hari, lo."
"Gue gak bisa janji. Dan lo benar, gue kerja rodi di sini. Lain cerita kalo yang jadi bos gue itu elo."
"Itu sama aja dengan lo mengharap agar gue bisa memimpin perusahaan ini."
"Konteksnya beda, Julian. Gak salah 'kan gue berpikir lo beda dari nyokap lo?"
"Segitu otoriternya ya nyokap gue. Bahkan lo sendiri merasa kerja paksa di tangan dia." Sandy tertawa sumbang, sungguh fakta ini bukanlah perkara yang lucu. "Maaf ya, San. Gue gak tau cara menghibur lo gimana. Semoga aja lo bisa mendapatkan apapun yang lo mau dengan mudah."
"Ikhlas gue Yan asalkan orang tua gue senang." Sejenak keheningan menyinggahi mereka. Lalu, embusan napas Julian mengudara ringan. "Eh, lo mau kopi gak? Gue punya stok latte sachet di lemari."
"Gak usah, Yan. Gue masih ada urusan lagi ini. Lo hati-hati deh, ya. Maaf gak bisa nemenin lo ke bandara." Julian mengangguk lamban berkali-kali sembari mengamati punggung temannya itu menjauh dari jarak pandangnya hingga ke pintu. Kemudian, dia menjatuhkan tubuhnya ke ranjang dengan kedua tangan membentang lebar. Dia hela napasnya cukup keras kali ini. Julian benar-benar lelah, lelah menghadapi paksaan dan ego ibunya.
-----
"Fal, tunggu! Gue ikut! Lo mau jemput Julian 'kan ke bandara?"
"Iya. Tau dari mana, Lo?!"
"Nyokap."
"Ck!"
"Kenapa, lo? Gak senang banget keliatannya."
"Ya gara-gara, lo."
"Gue juga sebenarnya malas kali sama lo, Fal. Kalo bukan karena gue pengen ketemu Ian, ogah gue mah."
"Suwek, Lo!"
"Bodo amat! Bukan urusan gue!"
"Tamaro goblok!"
"Janufal ogeb!"
"Bangsul, Lo."
"Elo tuh, sawan!"
Pintu jip sengaja dibanting, pelampiasan Janufal yang kini memasang muka masam. Dua pria muda ini tak akan sudi berdamai dalam interaksi mereka, kecuali untuk perkara mepet menjurus pada keselamatan keduanya.
"Awas aja lo minta tolong gue lagi."
"Pede banget, Lo. Elo kali yang sering nyusahin gue. Bolos ngampus, ujung-ujungnya minta diabsenin gue, Lo."
"Oh, jadi ceritanya Elo mau pamrih?!"
"Mending Lo jalan sekarang deh, Fal. Keburu Ian nunggu di sono. Ocehan Lo bakal awet dua tiga jam ke depan, buang-buang waktu."
"Gagal rencana gue karena Lo."
"Terserah. Gue bilang tujuan gue buat menemui Ian, gak usah kegeeran Lo." Janufal memutuskan bungkam, sudah puas dengan sengaja menginjak sekeras-kerasnya pedal gas di bawah berikut pekikan lantang mengiringi laju mobil jip tersebut.
-----

Situasi di Bandara cukup sunyi di siang ini, memudahkan Janufal serta Tamaro untuk bergegas ke lokasi yang dituju. Kedai kopi menjadi pilihan Julian dan Janufal lah yang pertama kali melihat dia.
"Ian!"

Yang dipanggil refleks mengalihkan pandangan dari ponselnya. Senyum menawan menyambut kedatangan para juniornya, "Loh, Tam! Gue kira Lo gak ikut.""Maksain banget nih orang, gue gak ada ngajak dia padahal."
"Mau ngopi dulu gak?" Julian sengaja tak menanggapi gerutuan adiknya.
"Boleh juga, tuh! Gue es kopi deh, buat ngadem. Di luar panas banget." Tamaro duduk di samping Julian dengan senyum semringah. "Lama juga gue gak ketemu Lo, Yan. Projek Lo di Singapura gimana?"
"Udah selesai, makanya gue bisa pulang."
"Lo utang cerita sama gue-nyokap juga nanyain, Lo. Beliau titip salam sebelum gue pergi tadi."
"Entar gue singgah ke rumah, Lo. Ada oleh-oleh yang mau gue kasih ke Ibu."
"Ibu doang? Buat gue?!" Tak satupun dari mereka menyadari perubahan ekspresi di wajah Janufal. Pria muda yang satu ini betah berdiri di posisinya semula, menyaksikan percakapan random di depan dia.
"Fal, Lo gak duduk?" tanya Julian selanjutnya.
"Gue kira gue dilupakan."
"Bocah prik!" Lalu, Tamaro pun seketika kembali menantang Janufal untuk beradu argumen.
"Gue gak ngomong sama Lo ya, Tam."
"Mas, Mas!" Bukan Julian namanya jika dia tak dapat mengontrol diri untuk menghadapi keributan di antara dua juniornya ini. "Latte satu, espreso satu. Dingin ya, Mas. Esnya dibanyakin."
"Ngerusak momen aja, Lo."
"Pendapat Lo gak dibutuhkan, Fal. Mending Lo diam."
"Lo berdua kenapa, sih? Berantem mulu kerjaannya. Gak malu apa sama janggut?" Baik Janufal dan Tamaro spontan menyentuh wajah masing-masing, terpicu ucapan Julian yang pasalnya menyinggung kepercayaan diri mereka.
"Gue baru abis cukuran tadi," kata Janufal dini dia tersenyum lega sebab yakin seluruh wajahnya terasa mulus.
"Gue juga udah kok-dua minggu lalu." Julian menggeleng-geleng mafhum, kontras dengan Janufal yang saat ini mendengkus jemu. Tamaro yang cengengesan tidak akan tampak sama di mata dua abang beradik itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
UPHEAVALS
General FictionMasa muda sepantasnya dapat dilewati dengan berbagai peristiwa suka dan duka. Orang-orang terdahulu bilang itu adalah saat di mana semangat masih membara, kebebasan pun meraja. Tapi, keseimbangan tidak selalu didapatkan secara merata. Ada banyak tu...