Fifty Five

663 72 9
                                    

Important Author's Note on behind. DON'T SKIP!

Niall Horan's POV

Gila memang. Dua minggu tanpa Luna sudah cukup membuatku tidak sehat. Aku ingin menelponnya, tapi jujur aku tidak berani. Pengecut? Biarkan. Aku takut jika aku menelponnya, ia tidak akan mengangkatnya atau bahkan memblokir nomorku. Aku marah pada diriku sendiri saat Harry menjelaskan padaku di pagi harinya kalau aku sudah mengatakan hal yang tidak benar pada Luna. Aku bisa membayangkan tatapan Luna saat mendengarnya, dan aku takut sendiri membayangkannya. Melihat orang yang kucintai tersakiti karena diriku membuatku sakit sendiri. 

Zayn berteleponan dengan Luna. Dan aku iri dengannya. Mereka bisa berkomunikasi layaknya kakak adik, dan aku disini melamun memikirkan Luna. Apa Luna memikirkanku? Apa ia merindukanku? Apa ia masih mencintaiku? Apa ia memaafkanku? Kalaupun Luna tidak memaafkanku, akupun wajar. Bahkan aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri karena sudah mengatakan itu padanya. Tapi aku takut kalau ia tidak memaafkanku, maka itu berarti aku akan kehilangannya.

Tidak, tidak bisa. Aku tidak bisa kehilangan orang sesempurna Luna. Memang aku tidak pantas menerimanya, tapi aku tidak bisa melihatnya dengan lelaki lain. Aku memang jauh lebih buruk darinya, tapi aku yakin aku bisa berubah untuknya. Aku bisa mengontrol emosiku, aku bisa menahan egoku untuk tidak meluapkan segala emosi dengan mabuk. Susah memang melepas hal yang biasa kulakukan. Tapi demi Luna, aku akan melakukan segalanya.

Harry dan aku masih tegang- walaupun ia sudah berkali-kali mengajakku berbincang terlebih dahulu. Aku masih tidak bisa menerima saat mataku menangkap Harry dan Luna menungguku di halaman rumah Luna berduaan. Terlebih karena mereka berdua dulu pernah menjalin hubungan. Hubungan yang tidak pernah dimulai, dan tidak pernah berhenti. Tapi tetap saja, rasa cemburuku sebagai kekasih Luna tetap ada saat melihat mereka berdua bersama, walau sebagai teman. 

"Niall?" aku menengok, melihat Liam ikut duduk disebelahku. 

"Hm?"

"Kau melamun terus. Ayolah," ia menyikutku.

Aku memutar bola mataku. "Apa kau bisa membantuku menelpon Luna?" tanyaku. 

"Aku? Kenapa aku?"

"Karena... karena..." aku tidak bisa melanjutkan kalimatku. 

Liam tertawa terbahak-bahak, membuatku sebal sendiri. "Ayolah, mate, kau meneleponnya. Jangan aku. Ia pasti ingin kau yang menelepon, bukan aku,"

"Tapi, Liam,"

"Tapi apa?"

"Argh. Aku sudah berusaha memberinya kode dari tweet-tweetku, tapi ia juga sepertinya tidak sadar,"

Tiba-tiba Zayn masuk, mengagetkanku dan Liam. "Bodoh. Sejak kapan Luna suka membuka twitternya?"

Oh iya. 

"Kau ini sudah berumur dua puluh tahun tapi masih memberi kode seperti anak sekolahan," Liam memutar bola matanya. "Telepon ia. Jadilah pria," Liam menunjukkan gayanya yang sok pria.

"Jadi aku ini apa?" aku menantangnya.

"Lelaki,"

"Bodoh,"

***

Aku membuka twitter, melihat banyak mention masuk ke akunku, lalu mataku terhenti saat melihat Luna baru saja mengirim tweet ke sebuah fanbase. 

@LunaAnderson : @luniallfanclub thanks for creating the account xx I love it! and luniall isn't over, bby

Apa? 

Luna menyukai akun fanbase yang merupakan shipper aku dan ia? Apa berarti ia masih membuka kemungkinan untukku? Aku memutuskan untuk mengiriminya tweet.

Somebody to Love {Niall Horan}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang