─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───
TUMBUH besar di lingkungan otoriter tidak sesederhana apa yang orang-orang bayangkan. Ini tidak sekedar harus hidup dengan peraturan jam malam yang ketat, jadwal sekolah dan les serta etiket sebagai manusia bermoral. Sikap dan penerapan otoriter Johan memang jauh lebih keras di bandingkan dengan yang lain. Haidden menjadi saksi hidup bagaimana Archie menjalani hidup sebagai anak pertama, laki-laki pula. Wajib mendapatkan peringkat pertama. Wajib mengikuti semua les yang Johan daftarkan. Wajib belajar sampai pukul satu pagi. Wajib mengikuti berbagai jenis lomba dan olimpiade. Dan masih banyak lagi segala tuntutan yang sang ayah berikan kepada Archie. Sebagi anak sulung laki-laki, dia tidak boleh terlihat lemah, sentimentil, lembek dan harus peka terhadap situasi di sekitar. Bahkan Haidden sendiri tidak merasa ini terdengar waras, di mana menangis adalah dosa bagi sang kakak. Nilai kurang dari 100 saja wejangan demi wejangan yang di terima Archie benar-benar membuat dirinya gerah bukan main.
Tetapi mengapa Archie masih terlihat biasa saja?
Seberat apapun itu, Archie masih bisa tersenyum lebar sembari mengusap-usap kepalanya usai mendapat cambukan ikat pinggang di punggung ketika peringkatnya turun. "Nggak papa. Lo jangan khawatir. Segini doang, mah, cetek. Sana tidur, udah malem begini. Gue mau lanjut belajar juga."
Haidden tidak tahu terbuat dari apa hati dan mental Archie sampai-sampai tidak pernah sekalipun ia melihat kakak laki-lakinya tersebut mengurai air mata, mengeluh meratapi hidup apalagi bersikap kasar karena terlampau lelah dengan keadaan. Seberisik dan semengganggu apapun dia, Archie tidak pernah marah atau mengusirnya, sang sulung hanya mengalunkan tertawa hangat, berkata lewat suara lembut guna meminta pengertian pada Haidden agar mau diam selagi lawan mengerjakan tugas-tugas sekolah.
"Lo robot, Bang!" ucapnya tanpa sadar sewaktu ia masih kelas satu SMP. Archie terdiam di kursi belajarnya untuk mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi dengan masih mengenakan seragam SMA, menelengkan kepala dan mengulas senyum simpul tatkala menimpali ringan, kelewat ringan malahan. "Gue tetep abang lo, Haidden. Hal itu nggak akan berubah."
Sulung kedua Alexzander tersebut betul-betul tidak mengerti mengapa Archie masih bisa tetap waras di bawah tekanan Johan. Bukan, bukan karena ia tidak mendapat perilaku demikian, Haidden juga mendapat ultimatum keras tentang pendidikan, jam malam dan jadwal belajarnya tetapi Archie jauh, sangat-sangat jauh lebih parah bila di bandingkan dengan dirinya nan masih bisa bernapas; sedikit hidup bersenang-senang.
Dan tatkala suatu hari, panas terik matahari menyongsong separuh bumi, Haidden melihat dengan mata kepalanya sendiri Johan pulang ke rumah dengan kemarahan absolut. Berteriak-teriak memanggil sang sulung hanya untuk memberinya tamparan keras. "Kamu kerja di belakang Papa, Archie?!"
Seolah masih segar, Haidden ingat betul separah apa Johan menghajar kakak sulungnya tersebut. Sekeras apapun sang ibu berusaha menghentikannya, Archie tetap di buat babak belur. Bahkan tidak cukup sampai di sana, sulung keluarga tersebut tetap di beri tugas menyelesaikan 100 soal fisika dalam semalam. Harus dalam semalam. Haidden tidak habis pikir. Ayahnya gila. Ibunya juga tidak jauh beda. Bisa jadi dia sendiri juga gila. Batinnya tidak sanggup berdiam diri saja dan nekat masuk ke dalam kamar kakaknya lewat jendela. Dia betul-betul ingat seberapa terkejutnya sang kakak dengan nyaris seluruh wajahnya bengkak dan di penuhi lebam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
Teen FictionLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...