Saemi membawa Sunghoon ke sebuah tempat yang begitu sepi dan senyap dari ingar-bingar mahasiswa di kampus sore itu. Tidak ada apapun di sana kecuali pepohonan rindang yang ditanam di setiap sisinya dan kadang-kadang suara angin yang bertiup kencang melalui dedaunan.
Di penghujung senja itu, hening menyapa senyap bersama suara angin dan gugurnya daun-daun kering dari atas ranting pohon. Mata besar Saemi menatap Sunghoon dengan takut-takut, sehingga membuat laki-laki bersurai pirang itu mengangkat alis.
"Kenapa?" tanya Sunghoon dengan nada lambat. Namun, meski berbicara dengan nada yang biasa-biasa saja itu cukup mampu membuat bibir Saemi terasa bergetar. "Ada yang mau lo omongin?"
Masih dengan menahan napas yang terasa sesak, Saemi mengangguk. Tiba-tiba kedua matanya memanas menahan tangis dan isakan kecil yang keluar tak terbendung dari bibirnya.
Meski ragu dan sedikit bingung, Sunghoon langsung mendekat ke arah gadis di hadapannya yang menangis tersedu-sedu. Dengan panik, Sunghoon berusaha menenangkan Saemi.
"Saemi..." panggil Sunghoon, memberikan perhatian pada perempuan tersebut.
Wajah penuh air mata itu menengadah, mempertemukan tatapan yang begitu dalam. Sementara Sunghoon sendiri berusaha menilai situasi yang sedang terjadi saat gadis itu mengangkat tangannya untuk berbicara dalam bahasa isyarat.
"Aku hamil, Sunghoon..."
Hening seketika. Sunghoon terdiam, lumayan lama. Ia mengerutkan dahinya tak suka sebelum membuka suara dengan begitu lantang, "Bodoh!"
Saemi menunduk saat melihat gurat kemarahan menjalar di dalam mata laki-laki itu. Sunghoon menatapnya tajam dengan rahang yang mengeras. "Udah berapa kali gue bilang buat selalu suntik kontrasepsi?"
Saemi menghapus kasar air mata yang menggenang di pelupuk. Tangannya bergerak lagi untuk berkata,"Aku selalu melakukannya!"
"Kalau bukan salah lo, terus salah siapa? Salah gue?"
Saemi menggeleng ribut. Dadanya terasa sesak karena tangisan yang tak dapat keluar dengan bebas. air mata tanpa suara jatuh memoles pipinya yang manis. Saemi itu tunawicara, tetapi meski tak dapat berbicara, ia tidak tuli. "Ini kesalahan kita berdua, Sunghoon.."
Mata Sunghoon terpejam erat. Rasa sesak di dalam dadanya melebur seolah merajam habis seluruh sendinya, ia merasakan sesuatu seperti menghantam rusuknya dengan begitu keras.
"Jelas itu salah lo. Kalau lo tepat waktu buat suntik kontrasepsi lo gak bakalan hamil!" ia berkata sambil membentak, "Selama hampir setahun kita hubungan badan, lo gak pernah kebobolan."
"Jadi kamu mau aku gimana?!" tangan-tangan yang memberikan isyarat itu bergerak gusar. Suaranya tak terdengar, tetapi emosi yang disampaikan benar-benar membuat Sunghoon terdiam telak.
"Kamu gak pernah pakai pengaman waktu berhubungan, Sunghoon! Bagaimana bisa itu jadi salahku?! Kita berhubungan dengan kesadaran, atas dasar mau sama mau!"
Pikiran Sunghoon masih terasa macet sampai-sampai ia sendiri sulit berpikir. Helaan napas terdengar begitu sarkas menusuk gendang telinga. "Kita ngelakuin itu emang dalam kondisi sadar, tapi gue tau lo sengaja ngejebak gue."
Pernyataan lurus yang diutarakan ampuh membuat kedua alis Saemi menukik tajam. Ia berbicara lagi, "Maksud kamu?"
"Sekarang lo pikir pake otak." Jari telunjuk Sunghoon mengetuk kepala Saemi sebagai gesture mengolok. "Lo itu bisu. Mana ada cowok waras yang mau hidup berdampingan sama lo?"
Bagai disambar petir, tubuh Saemi menegang hebat mendengar celaan yang keluar dari mulut lelaki itu.
"Gue baik selama ini bukan berarti gue suka sama lo. Hubungan kita terjalin tanpa komitmen, gue kira lo juga seharusnya tahu tentang itu. Apa lo pikir selama ini kita tidur bareng karena gue punya perasaan sama lo?"
Air mata menyengat mata Saemi dengan begitu pedih. Kata-kata yang terlontar dari mulut Sunghoon begitu mengena, menyakiti hatinya. Seharusnya selama ini dia menyadari, bahwa sebanyak dan sekeras apapun dia berusaha itu akan sia-sia, kecacatannya tak akan pernah luput diungkit ke atas permukaan sebagai bahan hinaan.
"Lagipula siapa yang mau nikah sama orang cacat kaya lo? Anak gue bisa aja ngewarisin kelainan lo nanti."
Saemi berteriak sekuat tenaga. Suaranya yang serak terdengar menyakitkan di telinga siapapun yang mendengar. Sangat menyakitkan bagi Saemi saat ia berteriak dengan cara seperti ini. Spontan Sunghoon terdiam saat kepalan tangan gadis itu kembali terangkat untuk angkat bicara dengan napas yang bergemuruh naik-turun tanpa bisa dikomando, "Katakan saja kalau kamu tidak mau bertanggung jawab. Jangan menghinaku, berengsek!"
Si rambut pirang menggerus jarak, memojokkan Saemi dengan tatapan menyala-nyala sehingga membuat gadis itu mundur beberapa langkah. Suaranya terdengar tajam dan sarat saat berbicara, "Gue punya hak, 'kan? Sekarang coba bilang siapa yang ngutuk siapa?"
BERSAMBUNG...
mff kak mengejutkan pagi-pagi begindang🙏🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
[psh] Our Blues
FanfictionHarusnya selama ini Saemi menyadari, tidak ada yang bisa dia janjikan untuk kehidupannya sendiri. Sebanyak dan sekeras apapun dia berusaha hanya akan sia-sia. Kecacatannya tak akan pernah luput diungkit ke atas permukaan sebagai bahan hinaan. "Aku...