Netra merah milik pria nomer satu di Kekaisaran Adelphine menatap lurus pintu kamar istrinya yang tidak tertutup rapat di depannya. Tanpa membuang waktu, Alaric langsung saja masuk ke dalam kamar.
Kemunculannya yang tiba-tiba membuat enam wanita yang ada di dalam terkejut.
"Baginda!"
Alaric mengangkat telapak tangannya saat keenam wanita itu hendak memberi salam kepadanya.
"Tidak perlu."
Setelah bicara, Alaric kembali berjalan menuju ranjang dimana di atasnya ada seorang wanita cantik tengah tertidur lelap. Mendudukkan diri di pinggir ranjang, tangannya bergerak mengelus sayang rambut milik wanita itu yang berwarna pirang coklat.
"Bagaimana keadaan istriku?" Tanpa mengalihkan tatapannya, Alaric melontarkan pertanyaan yang ditujukan pada dokter.
"Permaisuri baik-baik saja, Baginda. Tidak ada luka serius di tubuh Permaisuri, hanya ada beberapa bagian tergores ranting pohon. Hanya saja sepertinya..."
Tangan Alaric berhenti bermain dengan rambut istrinya. Pria itu menoleh, menatap dokter dengan kening berkerut.
"Sepertinya apa?"
"Se--sepertinya Permaisuri hilang ingatan, Baginda."
Bak petir di siang bolong, perkataan tersebut menggelegar memecah kewarasan Alaric. Jantungnya serasa berhenti berdetak ketika mendengar kenyataan pahit dari mulut wanita tua di depannya.
"Apa kau yakin?"
"Saya sangat yakin, Baginda. Permaisuri tidak mengingat apapun. Baik itu tentang Kekaisaran Adelphine, gelarnya, dan Anda, Baginda..."
Alaric mengepalkan tangannya. Perasaannya berkecamuk. Marah, sedih, kecewa, semuanya bercampur padu di hatinya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa dirinya dilupakan oleh wanita yang dicintainya bahkan sebelum wanita itu berbalik membalas perasaannya? Apa lagi-lagi ini karma dari dewa padanya?
"Apa dia bisa mengingat lagi?"
"Bisa, Baginda, tapi tentunya membutuhkan waktu. Entah seminggu, sebulan, atau bahkan setahun. Hanya dewi suci yang tau kapan Yang Mulia Permaisuri bisa mengingat semuanya."
"Eunggh..." Lenguhan Laura menyita atensi semua orang yang berada di dalam kamar.
Laura merasakan sentuhan halus menyapu wajahnya. Sentuhan hangat yang diam-diam ia rindukan, hingga akhirnya berimbas pada alam bawah sadarnya, seperti saat ini.
Ketika menyadari sentuhan itu terlalu nyata untuk dianggap alam mimpi, Laura berusaha mengumpulkan kesadarannya dari alam mimpi.
"Kalian keluarlah!" perintah Alaric pada enam wanita berbeda usia di hadapannya.
"Baik, Baginda."
Bertepatan dengan kepergian pelayan dan dokter dari dalam kamar, perlahan kelopak mata Laura terbuka. Cahaya gradasi yang semula blur, kini dapat menyesuaikan dengan retinanya. Dengan jelas dan begitu dekat, nampak seorang pria bermata merah tersenyum tulus pada Laura.
Mata Laura terbelalak begitu melihat wajah Alaric. Seketika ia bangkit dari posisi tidurnya lalu merangkak mundur berusaha menjauhkan diri dengan degup dada yang berpacu cepat.
Sorot ketakutan terlihat begitu jelas di mata hazel Laura membuat perasaan Alaric menjadi semakin kacau. Alaric hendak naik ke atas ranjang, tetapi teriakan Laura menghentikan pergerakannya.
"BERHENTI! Jangan mendekat!"
Alaric menatap wajah panik Laura sekilas. Pria itu mengabaikan perintah dari Laura dan tetap bergerak naik ke atas ranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Become A Queen
Fantasy*** Karena tertekan dengan tuntutan pekerjaan yang sangat tidak masuk akal di tempatnya berkerja membuat Laura memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara terjun dari rooftop kantornya. Namun, alih-alih pergi ke alam baka, Laura malah terl...