Mataku melihat buku-buku disusun dan dibersihkan secara rapih oleh Pram. Pram juga membersihkan meja belajarnya.
"Bosen gue, dek." Celetukku yang sedari tadi rebahan dikasur dan melihat adikku yang tengah membersihkan kamar kami.
"Bantuin gue makanya!" Jawab Pram sarkas. Ia cukup kesal karena aku hanya melihat dan tidak berniat membantunya.
"Udah kelar itu sama lo." Jawabku malas. "Ke kamar kak Tama yuk. Dia pasti tau kita harus ngapain." Ajakkanku yang langsung dianggukkan oleh Pram.
Kami berjalan ke kamar kak Tama. Melihat rumah yang besar namun hanya kami bertiga isinya. Meski ini hari libur tetapi Ayah dan Bunda tetap pergi ke kantor dan rumah sakit.
Itu lebih baik ketimbang harus melihat mereka dirumah dan hanya marah-marah.
Kami mengetuk pintu kamar kak Tama namun, tidak ada jawaban sama sekali. Mungkin kak Tama masih tidur. Tapi kami juga khawatir dengan kak Tama, karena semalam. Iya? Kak Tama semalam habis dipukul oleh Ayah karena kami berdua. Aku dan Pram.
Kalian mungkin bosan dengan kata-kata Ayah yang memukuli kak Tama. Tapi memang begitu adanya.
"Kak Tama?!" Aku menggedor kamar Kak Tama cukup keras karena sudah lima kali Pram memanggilnya tidak kunjung ada jawaban.
"Iyaa sebentar," suara kak Tama terdengar lirih.
Kak Tama ternyata memang baru bangun. Ketika membuka pintu, mukanya masih sangat kusut.
"Tumben baru bangun lo kak?" Tanyaku yang langsung nyelonong masuk kamar kak Tama.
"Iya... badan gue agak remuk jadinya nyenyak banget tidurnya." Jawab Kak Tama yang kembali merebahkan tubuhnya dikasur.
"Aneh lo kak." Dengusku kesal mendengar kalimat kak Tama barusan.
"Aneh kenapa?" Kak Tama memosisikan tubuhnya menghadapku dan Prama.
"Badan remuk kok tidur nyenyak." Jawabku singkat.
Kak Tama hanya tersenyum mendengarku. Ia mengusap punggungku dan Pram bergantian.
Selalu seperti itu. Kenapa harus senyum sih kak? Kak Tama berhak marah dan kesal didepan kita berdua.
"Kak Tama badannya bukan agak remuk tapi emang udah remuk. Kalau hatinya remuk juga gak kak?" Aku sangat terkejut mendengar kalimat Pram.
"Remuk. Tapi sembuh lagi," Kak Tama bangun dari posisi rebahannya. Tapi sambil meringis. Pasti punggungnya masih sakit.
"Emang bisa sembuh?" Pram kembali bersuara.
Aku melihat kearah Pram dan kak Tama secara bergantian.
"Bisa dong. Mau tau caranya?" Aku dan Pram mengangguk mendengar pertanyaan kak Tama.
"Begini..." Kak Tama tiba-tiba memelukku dan Pram. "Caranya kalian peluk kak Tama, kakak langsung sembuh. Sakit dihati kak Tama, sakit ditubuh kak Tama, semuanya langsung sembuh. Kalau dipeluk sama kalian." Kami membalas pelukan kak Tama.
"Kalau dipeluk Ayah sama Bunda juga pasti sembuhnya lebih cepat ya kak?" Aku tidak sadar jika berbicara seperti itu.
Kak Tama mangangguk, Pram juga. Tanpa kami sadari, masing-masing dari kami meneteskan air mata. Hati kami remuk.
Kak Tama, Abang Gandy, Adek Pram butuh pelukan Ayah Bunda. Kapan kami bakal merasakan itu lagi? Abang kangen sekali dengan Ayah Bunda...
"Kalian mau ngapain ke kamar kakak? Kangen?" Ucap kak Tama yang melepaskan pelukan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keluarga Prahara
Aktuelle LiteraturKeluarga bukanlah rumah yang nyaman bagi kami. Keluarga tidak memeluk ketakutan kami, tidak menguatkan hati kami, tapi meruntuhkan diri dan hati kami. Tentang si sulung yang terus menanggung semua derita, si tengah yang selalu berusaha kuat, dan si...