perasaan yang dianggap sepele namun begitu berarti untuk orang lain

51 13 0
                                    

Kenapa harus Zeyu? Dari sekian ribu makhluk hidup di dunia ini, mengapa harus seorang Yu Zeyu?

Mingrui tidak lagi memedulikan berapa kelas yang dirinya lewatkan akan berlangsung hari ini. Dirinya hanya ingin dengan cepat pergi ke kamar dan mengurung dirinya.

Mingrui membanting pintu kamarnya dengan keras, lalu merebahkan tubuhnya di ranjang, menatap langit-langit ruangan dengan tatapan kosong.

Napasnya keluar dengan cepat dan tak teratur, seolah jantungnya berdetak sangat kencang hingga rasanya bisa meledak kapan saja. Ia berusaha menenangkan diri, tapi pikirannya seperti berlarian tanpa arah, sulit untuk dijinakkan.


“Mingrui… kamu tidak aneh, kamu tidak berbeda…”

“Kamu istimewa…”

“Suatu saat, kamu akan bertemu dengan seseorang yang bisa melihat keistimewaanmu…”

“Seseorang yang bisa mencium bau pheromone-mu…”

“Membantumu dengan siklus rut-mu…”

“Mencintai, menyayangi, dan melindungi mu dengan nyawanya sendiri…”

Kalimat-kalimat tersebut terus berputar dalam pikirannya, seolah terpatri dalam memori seperti mantra. Mereka adalah kata-kata yang diucapkan orangtuanya saat dirinya merasa terasing dari dunia sekitar, ketika keadaannya yang berbeda dari teman-teman sebayanya membuatnya merasa tertekan dan putus asa.

Namun kini, kalimat-kalimat itu berubah dari penghibur menjadi sumber ketakutan terbesar. Kenyataan bahwa ia telah bertemu dengan orang yang seharusnya menjadi takdirnya, dan harus bergantung pada orang tersebut, seolah menjeratnya dalam ketidakberdayaan. Setiap kata yang dulu memberi harapan kini terasa menakutkan, seakan menjadi beban yang tidak bisa ditanggungnya.

Mengapa harus Yu Zeyu?

“Tidak, itu hanya kebetulan,” bisiknya dengan nada penuh keraguan pada dirinya sendiri. “Benar, Mingrui, itu hanya kebetulan. Tidak mungkin dia bisa mencium aroma pheromone-mu…”

Suara hatinya berusaha meyakinkannya, tetapi ketidakpastian dan ketakutan mengganggu pikirannya. Hening memenuhi ruangan, seakan menggantikan semua suara yang seharusnya ada. Mingrui menggigit bibirnya, berjuang melawan gelombang emosi yang naik turun, berusaha keras untuk tetap tenang.

“Kenapa harus dia…”

Mengapa harus seseorang yang selalu ia benci? Mengapa ketakutan dan kebenciannya bergabung untuk melawannya, seolah menjadikannya musuh terburuk? Pikiran ini menggerogoti hatinya, membuatnya merasa semakin tertekan.

Air mata mulai menetes perlahan di pipi putihnya. Mingrui merasa kehilangan arah, terjebak dalam kekacauan perasaannya sendiri. Di siang itu, segala sesuatu di sekelilingnya terasa tidak penting lagi. Semua harapan dan impian yang dulu ada seakan hancur berkeping-keping, hanya meninggalkan kepedihan yang mendalam.

Ia tahu bahwa menghadapi takdir dan realitas ini tidaklah mudah. Rasa sakit dan kebencian yang selama ini ia pendam, kini terasa menyatu dengan ketakutan terbesarnya. Dalam keheningan kamarnya, Mingrui merasa seperti tersesat di dalam diri sendiri, terkurung dalam dinding-dinding emosinya yang tidak bisa ditembus.

Ia menutup mata dan membiarkan air mata mengalir, meresapi perasaan terasing dan bingung yang melanda dirinya. terhanyut dalam ketidakpastian dan ketakutan yang menggigit jiwa.

a different Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang