"Dok, apa boleh saya minta nomor HP?"
Aina terdiam sejenak mendengar pertanyaan Habib itu. Hal ini pernah terjadi beberapa kali sebelumnya. Dulu ada cowok aneh di ruang baca fakultas yang tiba-tiba minta pulsa SMS karena pulsanya habis dan dia mau menghubungi seseorang yang penting. Iya, dulu tahun 2012, SMS masih booming. Yang punya HP Blackberry atau android masih sedikit. Ternyata cowok itu hanya ingin minta nomor ponselnya aja. Saat itu, Aina tidak menanggapi dan malah memblokirnya. Dia merasa chat kakak kelasnya itu menganggu.
Pernah juga ada kejadian seorang tentara yang terus mengajak Aina mengobrol karena mereka tidak sengaja duduk bersebelahan di pesawat saat Aina hendak menonton konser Taylor Swift di Singapore. Ucapan perwira yang terlalu membanggakan diri juga tidak menarik bagi Aina. Sehingga saat pria itu meminta nomor, Aina menolaknya.
Kini di hadapannya ada seorang tukang ojek yang melakukan hal yang sama tapi kenapa perasaan Aina berbeda ya? Dia tidak merasa kesal ataupun jengkel. Cara bercanda Abang ojol ini sangat menyenangkan. Dia juga good looking. Ucapannya polos dan apa adanya tentang hidupnya yang penuh perjuangan. Namun Aina justru mengaguminya. Maka tanpa dia sadari Aina merogoh tas dan menyodorkan kartu namanya.
Sebaliknya, Habib malah melongo melihat Aina ternyata menuruti permintaannya tanpa ragu. Padahal sebenarnya dia hanya coba-coba saja. Tidak sekali dua kali saja dia meminta nomor ponsel pada penumpangnya yang cantik tapi selalu ditolak. Kenapa Aina berbeda? Apa Aina tertarik padanya? Padahal status sosial mereka jelas berbeda jauh. Habib bingung sendiri ketika dia menerima kartu nama Aina. Padahal dia sendiri yang memintanya tadi.
"Chat kalau malem aja ya. Di atas jam 9 aku longgar dan nggak bisa tidur," senyum Aina sambil berlalu ke dalam rumahnya. Ada gejolak aneh di dalam dada yang membuatnya sudut bibirnya terus terangkat.
Aneh. Pikir Aina. Aina tidak pernah percaya pada jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi sepertinya itulah yang dia rasakan sekarang.
Sementara itu di luar pagar. Habib membaca kartu nama Aina dengan saksama. Memang ada nomor ponsel yang tertera di sana. Habib melihat lagi plang dokter di depan rumah Aina. Aina dokter spesialis anak kan? Bukan spesialis jiwa? Barangkali Aina memberinya kartu nama karena melihat Habib yang terlalu stress dan butuh bantuan? Habib memasukkan kartu nama itu dengan hati-hati ke dalam saku di dalam jaketnya. Aneh. Rasanya seperti ada kupu-kupu di dalam perutnya. Perasaan apa ini ya?
Ponsel Habib yang bergetar menyadarkan bahwa sudah waktunya dia bekerja lagi. Ada orderan lain yang baru saja masuk. Habib menyalakan mesin motor dengan perasaan yang kacau. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Dia tadi yang minta nomor harusnya dia menghubungi Aina kan? Bahkan cewek itu sudah menginformasikan jadwalnya dengan jelas. Apa yang mau dia katakan pada Aina nanti? Gombalan-gombalan receh ala matematika? Kok rasanya basi ya? Belum pernah Habib merasakan sebingung ini sebelumnya. Ah, apa sebaiknya dia riset? Atau bertanya pada Mbak Gemini dan Mas Chatgpt saja? Biasanya kalau nggak ada ide konten dua AI itu selalu menjadi teman curhat AI.
AI itu asyik mereka bisa memberikan saran yang tidak menggurui. Tidak seperti teman-teman di tongkrongan ojol lainnya yang kadang ember ke sana-sini kalau dicurhati. Baiklah. Nanti dia akan curhat dengan mbak Gemini setelah ini.
***
Halo pembaca! Alex di sini. Kalian kangen aku nggak? Kasihan banget ya Si Habib ini curhat kok sama Gemini dan Chatgpt. Curhat itu kayak aing dong sama Allah SWT. Hahahaha.
Sampai ketemu di chapter selanjutnya. Jangan lupa votes dan komennya. Jangan lupa juga beli chapter Mama ku di Karyakarsa. Harga mulai dari 2k aja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Menikahi Dokter 2
RomanceKehidupan setelah pernikahan ternyata tidak mudah. Tidak seindah di novel-novel romance. Apakah happly ever after itu ada?