Bulan purnama bersinar terang di atas langit kelabu Achira no Sekai. Suara-suara aneh menggema di antara pepohonan lebat, menciptakan atmosfer mencekam yang bahkan membuat hewan-hewan nokturnal enggan bersuara. Di tengah kegelapan hutan, sosok seorang pria berdiri tegap, yukata dan jubah merah marunnya berkibar tertiup angin malam yang dingin. Tangannya menggenggam erat busur yang terbuat dari kayu sakura berusia ribuan tahun, sementara di punggungnya tergantung sebuah tabung berisi anak panah khusus yang mampu memusnahkan yokai. Napasnya tenang dan terkendali, amat sangat menantikan serangan yang akan mendatanginya.
Dari balik bayangan pepohonan, muncul sosok-sosok mengerikan. Dua puluh mononoken, yokai pedang yang terkenal ganas dan haus darah, mengepung pria itu dari segala arah. Mata mereka berkilat merah, dan tawa mengerikan mereka memecah kesunyian malam.
"Kau telah masuk terlalu jauh ke wilayah kami, manusia," desis salah satu mononoken. "Malam ini, darahmu akan menjadi santapan kami."
Pria itu hanya tersenyum sinis. Dengan gerakan secepat kilat, ia menarik sebuah anak panah dari tabungnya dan melepaskannya ke arah mononoken terdekat. Anak panah itu melesat menembus udara, memancarkan cahaya bak api merah sebelum menancap tepat di jantung sang yokai. Mononoken itu menjerit kesakitan sebelum tubuhnya hancur menjadi debu.
Pertarungan pun dimulai. Sembilan belas mononoken yang tersisa menyerang pria itu secara bersamaan, cakar-cakar mereka terayun dengan kecepatan yang mustahil bagi mata manusia biasa untuk mengikuti. Dengan kelincahan yang luar biasa, pria itu menghindari setiap serangan dan sesekali melompat ke udara untuk melepaskan anak panah mematikannya.
Satu per satu, mononoken jatuh dalam kondisi mengenaskan. Setiap anak panah yang dilepaskannya menemukan sasaran dengan akurasi sempurna, memusnahkan para yokai tanpa ampun. Namun, pertarungan itu jauh dari mudah. Beberapa kali, cakar para mononoken nyaris mengenainya, meninggalkan goresan-goresan di jubahnya.
Setelah hampir satu jam pertarungan sengit, pria itu berdiri sebagai pemenang di antara debu-debu yokai yang bertebaran di tanah. Ia telah mengalahkan dua puluh mononoken seorang diri, sebuah prestasi yang bahkan membuat para pemburu yokai veteran kagum.
Tanpa membuang waktu, pria itu mengeluarkan sebuah botol kaca dari balik jubahnya. Dengan sebuah gerakan tangan, ia memanggil ayakashi buatannya - makhluk spiritual yang ia ciptakan dan kendalikan. Ayakashi itu, berbentuk seperti ular transparan, mulai mengumpulkan sisa-sisa energi dan darah yokai yang bertebaran di tanah ke dalam botol. Saat asyik memantau pekerjaan ayakashinya, suara langkah kaki yang tergesa-gesa terdengar mendekat. Seorang pria muda, dengan nafas terengah-engah dan wajah pucat, berlari menghampirinya.
"Amanogawa-sama!" seru pria itu sambil membungkuk hormat. "Saya membawa berita penting!"
Amanogawa, pemimpin klan pemburu yokai saat ini, mengangkat alisnya. Gestur halus yang mengisyaratkan pria itu untuk melanjutkan.
"Saya sudah mengkonfirmasi kabar yang beredar, semuanya benar adanya," lanjut si pembawa pesan. "Nurarihyon memang sedang bertikai dengan Naga Biru Shidousha. Dan yang lebih mengejutkan lagi ... Nurarihyon telah bertemu dengan Abe no Seimei!"
Mendengar berita ini, jantung pria itu berdebar kencang. Seringai lebar perlahan terbentuk di wajahnya, dan tawa puas meluncur dari bibirnya. "Akhirnya ... setelah sekian lama menunggu, beliau kembali ke sisi kita."
Berbalik menghadap si pembawa pesan, Amanogawa menatap tegas. "Kumpulkan para pemburu yokai dan beritahu mereka bahwa kita akan bergerak menuju kediaman Nurarihyon. Ini adalah kesempatan kita untuk menyelamatkan rekan leluhur kita, Douman-sama!" Perintahnya dengan suara yang penuh otoritas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kioku no Sora || SoraMafu [ END ]
FantasyUtaite Fanfiction First book of Sore wa Ai to Yobudake Series Achira no Sekai, atau yang disebut sebagai dunia lain dimana makhluk selain manusia tinggal menjadi sebuah dunia yang tabu bila dimasuki manusia. Mereka yang tak sengaja menginjakkan kaki...