Chapter 03.

109 50 85
                                    

Rui sangat menginginkan bunga yang cerah dan berwarna-warni, namun terpaksa membeli mawar hitam yang menjadi satu-satunya pilihan yang tersisa di sebuah kedai bunga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rui sangat menginginkan bunga yang cerah dan berwarna-warni, namun terpaksa membeli mawar hitam yang menjadi satu-satunya pilihan yang tersisa di sebuah kedai bunga. Kecewa, ia akhirnya memutuskan membeli mawar tersebut dengan harga lebih murah, karena bunga itu adalah satu-satunya yang tersisa sebelum kedai tersebut segera tutup.

Kini, gadis itu melangkah masuk ke dalam rumah sakit yang steril dan beraroma antiseptik. Seikat mawar hitam tampak menonjol, mencolok di tengah lingkungan yang pucat. Digenggam erat di tangannya, kelopak-kelopak gelap mawar seakan menyerap cahaya lampu di atas kepala, memberikan keindahan yang menakutkan.

Menghampiri resepsionis, suara Rui bergetar saat ia menanyakan nomor kamar Raven. Mata perawat itu tertuju pada kelopak mawar yang gelap, sekelebat kebingungan melintas di wajahnya sebelum ia berpaling.

"Boleh saya tahu status kamu dengan pasien bernama Raven Roderic?" salah satu perawat bertanya dengan lembut.

Rui mengerjap, lalu mengangguk. "Saya teman sekelasnya."

Mata perawat itu sedikit melebar. "Jadi dia seorang pelajar? Karena saya belum pernah menemukan seseorang yang mengunjunginya," ia merenung, ada sedikit keterkejutan dalam suaranya.

Rui mengerutkan alis dengan bingung. "Maaf?"

Senyum tipis tersungging di sudut bibir sang perawat. "Kamu orang pertama yang mengunjungi Tuan Roderic. Kamu tahu, sebelum ini, saya tidak melihat wali atau temannya."

"Benarkah?" Suara Rui sedikit goyah. "Tak ada yang menemani Raven?"

Perawat itu mengangguk. "Kamu adalah orang pertama yang mengunjungi Tuan Roderic.

"Hanya saja sebelumnya, ada beberapa orang berpakaian formal yang mengantar dan kemudian meninggalkannya. Saya senang mendengar bahwa kamu datang untuk menengoknya."

Rui memproses kata-kata perawat itu, gelombang emosi melonjak dalam dirinya. Ia mengira Raven akan kedatangan banyak pengunjung, dikelilingi oleh teman-teman dan keluarga yang peduli. Namun kenyataannya sangat berbeda. Rui terkejut saat menyadari bahwa Raven sendirian, tanpa kehadiran orang-orang terkasih yang menghibur di saat-saat sulitnya.

Sambil mengangkat bahunya dan memberikan senyuman tentatif, Rui bertanya pelan, "Boleh saya tahu di mana kamarnya?"

Mata perawat itu membelalak, sekelebat permintaan maaf melintas di wajahnya. "Tentu, Tuan Roderic ada di kamar 115."

Rui membungkuk sopan, "Muy bien, gracias señora."¹

Setelah mengucapkan terima kasih kepada perawat, Rui bergegas menyusuri lorong menuju kamar 115 tempat Raven terbaring. Dia berdiri di luar kamar, mengintip melalui jendela kecil, merasa lega saat melihat Raven terbaring tenang dengan mata terpejam.

Naik turunnya dada Raven yang berirama menandakan tidur nyenyak, membuat Rui enggan mengganggu istirahatnya. Mendesah lembut, Rui diam-diam meletakkan buket bunga di kursi di luar kamar, sebagai tanda kedatangannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝐏𝐀𝐈𝐍𝐓 𝐌𝐄 𝐀𝐒 𝐀 𝐕𝐈𝐋𝐋𝐀𝐈𝐍Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang