Mau bilang apa? Jaskier mengagumi kota Oxenfurt.
Universitas dikelilingi dinding dan di sekitar dinding ini ada lingkaran lain lagi – kota kecil yang meraksasa, berisik, tak bernafas, sibuk dan bising. Kota kayu warna-warni Oxenfurt dengan jalanan sempit dan atap-atap runcing. Kota Oxenfurt yang dihidupi oleh Akademi, pelajar, pengajar, mahasiswa, peneliti dan para tamunya, yang dihidupi ilmu pengetahuan dan kebajikan, yang mengiringi proses belajar. Di kota Oxenfurt, bisnis dan laba terlahir dari produk sampingan dan potongan-potongan teori dan praktek.
Sang pujangga perlahan berkuda di sepanjang jalan ramai yang berlumpur, melewati pertokoan, studio, lapak-lapak, toko-toko yang kecil dan besar dimana, terima kasih pada Akademi, puluhan ribu artikel dan hal-hal menakjubkan diciptakan dan dijual – takkan didapat di sudut lain dunia dimana produksi hal-hal tersebut dianggap tak mungkin, atau tak berguna. Dilewatinya penginapan, kedai, tenda-tenda dan gubuk, konter dan panggangan sederhana yang mengambangkan aroma yang memancing selera dari makanan yang tak dikenal di belahan dunia yang lain, dibumbui dengan cara yang tak diketahui di tempat lain. Inilah Oxenfurt, kota keajaiban yang bercorak, ceria, berisik dan beraroma manis dimana orang-orang yang pandai, penuh inisiatif, telah membalikkan teori tak berguna yang dikerjakan sedikit demi sedikit oleh universitas. Itu juga kota hiburan, festival-festival yang terus-menerus, hari liburan permanen dan pesta pora yang menggila. Siang dan malam jalanan dipenuhi musik, lagu, dan denting piala dan gentong, karena diketahui bahwa tak ada pekerjaan yang membuat haus melebihi perolehan pengetahuan. Walaupun perintah kanselir melarang para pelajar dan guru untuk minum dan bermain-main sebelum fajar, minum-minum dan main-main terus berlangsung sepanjang hari di Oxenfurt, karena diketahui bahwa jika ada yang membuat seseorang itu haus melebihi perolehan ilmu pengetahuan, maka itu adalah larangan penuh atau sebagian untuk minum-minum.
Jaskier mendecakkan bibir, memerintahkan kudanya untuk terus berjalan, menyusuri jalur kota. Para pedagang, penunggu lapak, dan para penipu yang mengelilingi kota dengan lantang menawarkan jasanya, menambahi kebingungan yang melanda.
'Cumi-cumi! Cumi-cumi panggang!'
'Salep bisul dan bercak! Hanya dijual di sini! Salep ajaib yang paten!'
Kucing, kucing ajaib penangkap tikus! Dengarkan, kawa-kawan! Dengarkan kucing ini mengeong!'
'Jimat! Elixir! Philtres, ramuan cinta, obat perangsang yang manjur! Secubit saja dan bahkan sebuah mayat pun akan kembali bugar! Ada yang mau?'
'Cabut gigi! Hampir tak sakit samasekali! Murah, sangat murah!'
'Apa maksudmu murah?' Jaskier penasaran selagi digigitnya sate cumi-cumi yang sekeras sepatu.
'Dua sen per jam!'
Sang penyair bergidik dan memacu kuda jantannya. Diam-diam dia menoleh ke belakang. Dua orang yang mengikuti jejaknya sedari aula kota berhenti di tukang cukur rambut, berpura-pura menawar harga yang tertera di papan. Jasker tak tertipu. Dia tahu apa yang membuat mereka tertarik.
Dia terus berkuda. Dilewatinya bangunan raksasa Kuncup Mawar – rumah bordil, dimana dia mengetahui tawaran layanan istimewa yang entah tak dikenal atau tak cukup populer di sudut lain dunia. Untuk beberapa saat, akal sehatnya bergolak melawan jati dirinya dan hasratnya untuk masuk selama satu jam saja. Akal sehat menang. Jaskier mendesah dan terus berkuda menuju universitas, mencoba tak mengintip kamar yang dari dalamnya terdengar suara-suara kesenangan dunia.
Ya, apa lagi yang hendak dikata – sang biduan mencintai kota Oxenfurt.
Dilihatnya lagi sekelilingnya. Dua orang itu tak menggunakan jasa tukang cukur, walaupun harusnya mereka memakainya. Saat ini mereka berdiri di luar toko alat musik, berpura-pura menawar harga okarina. Si penjaga toko tergopoh-gopoh, menjelaskan betapa bagusnya barang dagangannya dan betapa dia mengandalkan toko ini untuk menghasilkan uang. Jaskier tahu bahwa tak ada yang bisa diandalkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Witcher Book 3 - Blood of Elves
Fantastik"Perhatikan tanda-tandanya! Pertanda-pertanda apa ini jadinya, kukabarkan padamu: pertama-tama bumi akan dibanjiri darah Aen Seidhe, Darah para Elf..." Selama lebih dari satu abad, manusia, dwarf, gnome, dan elf telah hidup bersama dalam relatif dam...