"Hai Ma." Aneth masuk dan mengecup pipi Ibunya yang masih berkutat dengan ponsel di depan TV yang dibiarkan menyala.
"Hai sayang, baru pulang?"
"Enggak, tadi aku jalan dulu sama Zahir."
"Oh ya? Sekarang orangnya di mana? Gak mampir dulu dia?" Tanya Marina sambil menengok ke arah belakang.
"Enggak Ma, dia kan harus ngerjain tugas rumah sama ngurusin Bundanya yang lagi sakit, jadi gak mungkin sempet buat mampir-mampir. Dia nyempetin buat ajak aku jalan aja udah syukur banget." Aneth tertawa miris di ujung kalimatnya.
"Gak usah sedih sayang, malah kalau boleh jujur nih ya, Mamah lebih suka sama laki-laki pekerja keras kayak Zahir. Dan keliatan juga kalau dia itu tipe laki-laki lembut yang penyayang."
"Iya sih, tapi karena emang Bundanya udah gak punya siapa-siapa selain Zahir, jadi mau gak mau Zahir yang harus ngurusin semuanya, dari mulai tugas rumah, sekolah, sampe dia biaya hidup aja harus Zahir yang serabutan buat makan sehari-hari, tapi aku salut sama dia, gak pernah sekalipun dia ngeluh cape atau ngerasa hidupnya menderita, karna dia pernah bilang sama Aneth, kalau dia gak punya waktu buat depresi, dan lebih baik tenaganya dipake buat hal yang lebih berguna dari pada musingin hal yang gak perlu, padahal Aneth udah bilang kalau dia berhak buat capek, tapi Mamah tahu dia malah jawab apa? Dia bilang kalau capek tinggal istirahat, tapi yang dia gak mau itu ngeluh kalau buat capek, karna buat dia itu gak penting, dia masih punya banyak tanggungjawab buat dilakuin dari pada sibuk mengkasihani diri sendiri." Marina yang merupakan Ibu Aneth hanya bisa mengerjap dengan senyum haru mendengar penuturan anak semata wayangnya.
"Ini alasan kenapa Mamah sama Papah gak pernah ngelarang kamu untuk sama Zahir, karna Mamah mau yang terbaik buat kamu. Gak peduli dia dari keluarga berada atau bukan, kamu berhak untuk memilih, dan yang harus Mamah lakuin cuma memantau siapa pilihan kamu, dan Zahir? Dia hampir mendekati sempurna sebagi laki-laki. Untuk sekarang mungkin Mamah gak bisa bantu dia, karna Mamah takut itu menyinggung, tapi nanti kalau kamu sudah yakin dengan dia di masa depan, Mamah akan bantu agar hidup kalian bisa lebih layak." Marina mengusap pipi putri semata wayangnya dengan lembut.
"Makasih ya Ma, udah jadi Ibu yang baik dan pengertian disaat Ibu-ibu diluar sana berlomba-lomba untuk menuntut anaknya punya pasangan yang kaya raya, Mamah pilih untuk lebih dewasa dengan tidak mendewakan uang."
"Karna Mamah tahu, bahagia kamu bukan cuma tentang seberapa banyak uang yang kamu punya, tapi dengan siapa kamu menjalani hidup. Cinta memang tidak memberikan materi pada pemiliknya, tapi ketika seseorang benar-benar mencintai kamu, dia akan berusaha memberikan yang terbaik dan hidup yang layak untuk kamu."
"I love you so much Ma."
"Love you more sayang." Setelah memeluk Ibunya, Aneth pun pergi ke kamarnya untuk ganti baju dan membersihkan tubuhnya. Ia menyalakan keran dan mengisi bathtub-nya dengan air hangat. Sambil menunggu airnya penuh ia menyiapkan beberapa hal sebelum berendam, seperti menyalakan lilin aroma terapi dan memilih playlist lagu yang akan diputar selama ia berendam. Tiba-tiba ponselnya bergetar, Zahir menelfonnya.
"Hai, udah nyampe?" Tanya Aneth sambil menanggalkan pakaiannya.
"Iya, baru aja selesai ganti baju, abis ini aku mau ngitung roti yang mau di titip ke kantin besok, jadi aku nyempetin buat nelfon kamu dulu, takut gak sempet ngabarin soalnya."
"So, sweet banget sih." Aneth masuk ke dalam bathtub-nya dan refleks mengghela nafas lega.
"Kamu lagi ngapain sayang?"
"Aku lagi berendam di bathtub, kenapa? Kamu mau liat."
"Aneth ... jangan mulai deh, gak baik tahu kayak gitu, jangan dibiasain ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirimu yang Ada Namun Hilang
Teen Fictionbagaimana jika ada satu titik di hidup ini di mana kita tidak memiliki sebuah pilihan? dan pilihan itu malah menjerumuskan kita ke dalam kubangan tak berdasar