02 : Cafe

251 69 6
                                    

Lembaran kertas yang dipenuhi tulisan hitam berterbangan di dalam sebuah ruangan bernuansa klasik, lebih tepatnya kunodan sangat ketinggalan jaman.

Ada banyak barang tua di ruangan tersebut, dan mungkin usianya jauh lebih senja di banding usia wanita muda berparas cantik yang duduk di kursi goyang.

Arayya menekuk wajahnya, suara decit dari kursi di bawahnya memberi perasaan tidak nyaman, terlebih setelah dia membaca isi lembaran kertas yang tadi di buangnya.

Ada banyak kata yang tertulis di kertas itu, dan kalimat yang paling membuat Arayya kesal adalah pemberitahuan tentang hutang ayahnya kepada Bank kota dan sudah jatuh tempo. Arayya ingin acuh, namun jaminan pinjaman surat tanah tempat cafe peninggalan milik kakeknya membuatnya meraung frustasi.

"Dasar pria tua...." Gerutu Arayya pelan, dia ingin memaki lebih banyak akan tetapi rasanya percuma karena sang ayah tidak akan mendengarnya.

Arayya memijit ruang diantara alisnya, rasa sakit karena migrain yang datang mendadak membuatnya pusing dan mual.

Dengan hutang sebanyak itu kemana dia harus mencarinya?

Cafe yang saat ini menjadi tempatnya mencari nafkah tidak se-eksis cafe modern disekitarnya, kalaupun ada pelanggan itu masih dapat di hitung jari. Dan mereka biasanya datang bukan karena ingin mencicipi menu di cafe melainkan karena penasaran dengan nuansa kuno di cafe tersebut.

Ting!

Lonceng tua yang kakek Arayya pasang di saat usianya masih balita berbunyi, menandakan ada pelanggan. Dengan perasaan lemas Arayya bangun dan berjalan keluar ruangan.

"Selamat datang, mau pesan apa?" Arayya memasang wajah ceria berharap pelanggan dengan pakaian tertutup itu terpeson dan tinggal untuk memesan.

"Ara ini aku..."

Alis Arayya terangkat, ketika pelanggan di depannya melepaskan satu persatu pakaiannya.

Dimulai dari mantel, topi, masker. Sekarang Arayya dapat dengan jelas melihat siapa sosok tinggi di depannya.

"Yahhh, aku pikir pelanggan ternyata kamu" Arayya berubah lemas, dia kembali berjalan masuk ke dalam ruangan.

"ARAYYA! INI PENGHINAAN BESAR YAH! SEORANG AKTRIS TERKENAL, ANCHIKA KAMU TINGGALKAN!?"

Arayya memasang wajah datar meskipun wanita cantik dengan mata melotot berjalan kearahnya disertai raungan marah.

Anchika menghentakkan kakinya kesal. Dia datang ke tempat tua ini karena ingin melihat Arayya, namun yang dia terima adalah sikap acuh Arayya.

"Hey! Habis ads gempa? Kenapa ruangan ini kacau?" Tanya Anchika, dia mulai berjongkok dan memunguti kertas-kertas yang bertebaran di lantai.

Anchika menyusun semua kertas dan sesekali membacanya. Beberapa saat kemudian dia akhirnya tahu alasan Arayya tampak seperti manusia tanpa hati.

"Apa yang akan kamu lakukan sekarang?" Tanya Anchika, tangan kanannya mengayung-ayungkan kertas pemberitahuan dari Bank.

"Aku ingin mencari ayahku dan meminta uang darinya. Kalau dia bisa berhutang dia juga harus bisa membayarnya"

Anchika mengangguk setuju, sudut bibirnya terangkat, tatapannya yang cerah menyelami tubuh Arayya.

"Apa?" Arayya yang telah duduk di kursi goyang sedikit takut karena tatapan Anchika.

"Waktunya hanya sampai besok sore, kemana kamu akan mencari pria tua itu?" Tanya Anchika balik.

Arayya tidak menjawab, dia justru merebahkan punggungnya yang kurus kebelakang dan diam-diam menenangkan diri.

GF's Contract Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang