Akhir pekan, Alin begitu semangat membuat sarapan di pagi hari. Wajahnya memanas saat teringat perlakuan manis Rafa tadi malam, setelah adegan mewek-mewek semalam, Alin menawari diri untuk menemani cowok itu tidur bersama. Awalnya Alin malu mengatakan hal tersebut, tapi Alin berpikir mungkin saja Rafa butuh pelukan.
Dan benar saja, tadi malam keduanya tidur di kamar Rafa, di atas ranjang yang sama, saling berpelukan membagi kehangatan. Alin di buat sangat nyaman berada di pelukan cowok itu, Rafa pun tidak meminta aneh-aneh, pemuda itu murni hanya memeluknya hingga pagi menjelang.
Selanjutnya tubuh Alin tersentak saat merasakan pelukan hangat Rafa dari belakang, mendadak jantung Alin berdegup kencang.
"Morning, cutie."Cutie?
Mendengar bisikan nada rendah Rafa membuat pipi Alin merona, ada banyak kupu-kupu beterbangan di perutnya, entah sejak kapan Rafa membuat panggilan khusus itu, yang jelas ketika cowok itu memanggilnya dengan kalimat demikian, Alin seolah terbang melayang di awan, Alin tersipu dan ia menyukainya.
"Morning too, Raf. Lepas dulu dong, gue lagi masak nih."
Layaknya kucing penurut, Rafa mengangguk, sebelum memisahkan diri cowok yang bertelanjang dada itu mengecup rahang Alin dari belang, setelahnya melenggang membuka lemari pendingin.
Jangan tanyakan bagaimana perasaan Alin sekarang, rasanya campur aduk, gugup, salting, tersipu, malu. Alin pernah merasakan seperti saat-saat seperti ini, ya dulu ketika jatuh cinta pada cowok yang salah.
Dan apa benar jika Alin jatuh cinta pada Rafa? Tidak mungkin.
"Raf, nanti gue mau ke mall bareng Ara ya." Alin memberitahu saat Rafa sudah duduk di kursi meja makan.
"Boleh, tapi jangan lama-lama."
"Iya, cuma nemenin dia belanja aja kok."
"Lo juga gak mau belanja?"
"Buat apa? Stok bahan dapur kita masih ada kok," jawab Alin, cewek itu menyalin masakan di kedua piring.
"Ya belanja lah, beli baju, make up atau apa kek, lo mau beli mobil atau motor aja pun boleh." Bukan tanpa alasan Rafa berkata demikian, pasalnya sudah beberapa bulan pernikahan mereka Alin tidak pernah meminta uang kecuali menemani cewek itu membeli kebutuhan dapur. Alin tidak sama seperti mantan-mantannya yang lain.
"Buat apa? Baju gue kan masih ada kok."
"Make up, entah apalah skinker-skinker segala macam, atau perhiasan? Lo gak mau beli?"
Alin menggeleng dan Rafa menatapnya heran.
"Aneh lo.""Lah aneh apanya?" tanya Alin sewot, cewek itu meletakkan hasil masakannya di atas meja, tak lupa menuangkan air mineral pada cowok itu.
Rafa menggeleng pelan. Berbeda sekali saat dia berpacaran dengan Mikha, cewek matrealistis, setiap saat meminta ini itu. Rafa memang tidak masalah dengan itu semua, bahkan semua perempuan yang ia pacari wajib ia belanjakan.
"Kalo jadi istri gue itu lo harus bisa jadi cewek matre. Sia-sia aja dong, punya suami yang kaya raya tapi gak lo manfaatin."
Mendengar ucapan Rafa membuat Alin melongo.
"Lo ngerti gak apa yang gue bilang?" tanya Rafa, dan Alin hanya bisa mengangguk polos.
"Beli apapun yang lo mau sekalipun mall-mallnya. Tunjukin kalo lo orang kaya, jangan kayak orang susah."
Alin memutar bola matanya malas, terdengar angkuh dan arogan. Alin tidak terbiasa menghambur-hamburkan uang untuk sesuatuu yang tidak berguna.
"Serah lo." Alin mengusap bibirnya, meminum airnya.
"Gue berangkat dulu," katanya lalu meninggalkan meja makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincere Love
Romance"Iya gue tau, tapi lo bisa nunggu kan? Please, Raf. Lo gak tau kalo pernikahan kita ini bikin gue stres, nikah muda gak ada di dalam mimpi gue.." Rafa manggut-manggut pelan. "Trus gue harus gimana kalo lagi birahi?" Bibir Alin berkedut menahan tawa...