Sudah cukup lama rotasi waktu, membawaku kembali menemui wujudnya yang masih tersisa dan pastinya masih bisa kutemui untuk berdialog meski tanpa ada balasan suara. Di atas pusara diberi tanda "20 Maret 2022", selalu aku tatap lama setiap mengunjunginya. Berharap agar pajangan rumahnya itu bukanlah sesuatu yang nyata. Tanggal yang ditulis di nisan itu adalah pertanda waktu, saat dia pergi meninggalkan diriku yang aku pikir itu adalah untuk selama-lamanya. Lagi pula, tiada sesuatu keajaiban pun yang mampu menghadirkannya lagi setelah kecelakaan nahas yang merenggut jiwa dan mengubur raga seorang sahabatku yang segala kebaikannya tak akan pernah aku lupa.
Tetapi hadirku hari ini di ruang tamunya yang disediakan meja dari segunduk tanah dan kursi beralaskan bumi ini adalah untuk bercerita tentang dirinya. Namun tentang dirinya yang datang dalam raga yang sedikit serupa dan sepertinya aku sangat mengenali sesosok jiwa yang bersarang pada raga manusia itu.
Sebagai tamu, aku juga tidak lupa membawakan minuman yang sengaja aku tumpahkan di meja ruang tamu rumah milik sahabatku ini. Dan ada cemilan berupa bunga-bunga ragam warna yang aku penuhi diatas meja tersebut untuk dapat ia nikmati saat aku pamit nanti. Begitulah dalam bersahabat, ia tak akan pernah marah meski aku menyerakkan minuman dan cemilan di atas mejanya. Bahkan jika aku bisa mendengar suaranya, maka akan aku dapati banyak ucapan terima kasih darinya atas sikapku itu.
"Apa kabarmu, Sobat?" Tangan kananku membelai lembut pajangan rumahnya yang tak hanya tertuliskan kapan ia mati, tapi terdapat tulisan Arab juga disitu. Seperti biasa, setelah motor yang ia tumpangi suatu malam itu ditabrak mobil tanpa rasa iba, ia tak lagi pernah menyahut saat aku ajak bicara. Mungkin ia lebih memilih membisu daripada harus menceritakan sakit yang dideritanya kepadaku.
"Kamu terlalu baik, Alena. Membiarkan penabrakmu lari tanpa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Setidaknya beri petunjuk agar kami bisa menemukan makhluk yang tak mempunyai hati itu. Sudah setahun, keluargamu juga mengikhlaskan begitu saja semuanya. Kamu memang berasal dari keluarga yang berhati mulia semua, Na." Tangan kananku masih mengusap nisan Alena. Tapi tangan kiriku tak mampu membiarkan air mataku menyentuh tanah di kuburnya.
Aku memprotes diriku sendiri atas air mata yang mencoba mengalir dipipiku. Untuk apa aku bersedih terhadap sahabatku sendiri? Bukankah melalui mimpi ia selalu tersenyum, tertawa, dan menceritakan betapa bahagianya ia sekarang? Ya, setidaknya luka fisik dan dendamnya — ia tak akan pernah dendam, percayalah — telah hilang ikut terkubur bersama jasadnya.
"Aku ini sahabatmu. Ceritakan saja semua derita yang kau alami padaku. Itu tak akan memberatkan pundakku. Justru begitu luas sisa ruang yang belum kau isi di pundakku, Na. Kalau ada malaikat menyakitimu, katakan saja padaku sekarang. Aku akan bersaksi atas begitu terpujinya hatimu."
Orang waras mana yang menunggu jawaban dari dalam kuburan. Seandainya pun dijawab, pastilah ia akan lari terbirit-birit mendengar suara dari kuburan itu. Namun aku sudah mengatakan pada Bima bahwa aku tak akan takut jika seandainya ia mau bersuara dari dalam kuburnya.
"Ya, sudahlah, Na. Kalau pun kamu berbicara dari dalam sana tak akan kedengaran juga sampai di sini. Kecuali suaramu bisa merambat pada tanah yang tebalnya dua meter ini. Kali ini aku mau bercerita lagi Alena..."
Bagai pertunjukan monolog atau sekiranya ini adalah perlombaan monolog, sudah dipastikan akulah pemenangnya. Mengapa tidak, emosi yang aku bangun sudah sangat lengkap dalam pertunjukan di atas kubur ini. Mulai dari pembukaannya, tadi sudah. Adegan yang penuh dramanya, aku juga sudah mengeluarkan air mataku walau akhirnya aku hentikan. Selanjutnya aku juga segera masuk pada adegan yang bahagia cenderung penuh tawa. Tapi sayangnya ini bukanlah sebuah monolog, melainkan kenyataan aku berbicara monolog.
"... Jadi begini, Na. Kamu tahu bahwa cuma kamu satu-satunya sahabatku selama ini. Tempatku berbagi keluh kesah, begitupun kamu berbagi ceritamu. Canda, tawa, suka, duka, sedih, bahagia, pokoknya semuanya deh, telah pernah kita jalani bersama, Na. Kini aku butuh hadirnya sosok sahabat terbaik itu, Na. Tapi bukan berarti kamu harus gentayangin aku juga ya, Na." Aku melepas tawaku sebagaimana dikala Alena masih bernyawa untuk merangkai tawa mencipta lesung di pipinya.
Aku mengingat kembali semua kisah dulu saat aku bercerita panjang lebar kepada Alena. Dalam beberapa hari ini aku bertemu sesosok Alena, namun aku yakin itu bukanlah dirinya. Oleh sebab itulah aku datang lagi hari ini ke rumah Alena untuk memastikan kalau dalam raga yang serupa itu bukanlah jiwa Alena yang ku kenal. Jika memungkinkan, aku juga ingin meminta izin kepada Alena untuk berteman, melanjutkan persahabatanku dengan sesosok yang mirip dengan dirinya itu. Tapi aku tidak bermaksud melupakan dirinya yang telah tidur di dalam kamar berpintu tanah itu. Aku hanya ingin melepas rindu saja dengan raga yang dahulunya selalu ada untukku yang selalu merasa sendiri di atas dunia. Kalau bisa, jiwa yang bersemayam di dalam raga yang mirip dengan Alena itu juga serupa.
" Oiya, Na.. sebelum aku pamit, aku boleh bawa raga yang mirip denganmu itu kepada keluargamu, nggak? Mereka pasti senang banget bisa ketemu denganmu. Ya, itupun kalau kamu izinkan."
Setelah lama aku bertamu di rumah abadi Alena, aku pamit undur diri untuk melanjutkan aktivitasku di dunia nyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pertunjukan di Atas Kubur
Teen FictionTentang kehilangan seorang sahabat yang tak pernah dendam akan kepergiannya. Dia selalu diam di dalam sunyi kuburnya tak pernah menjelaskan siapa yang merenggut nyawanya di ramai jalanan kota. #cerpen #dendam #sahabat #kematian