Prolog

560 47 4
                                    

Pisau yang menikam jantung

Ketika pintu kamar pengantin mereka terbuka, Cara; yang masih mengenakan kebaya pengantinnya mengulas senyum manis di bibir. Senyumnya bukan hanya terlihat di bibirnya, tapi juga nampak dalam binar matanya yang indah.

Namun senyum itu perlahan luntur ketika melihat wajah dingin suaminya, atau pria yang baru beberapa jam yang lalu mengucapkan ijab kabul di depan penghulu.

Tidak ada senyum di mata Galang, tidak ada sorot hangat di sana. Yang ada hanya rasa dingin yang membekukan tulang dan tatapan mata yang begitu tajam penuh kebencian. Tatap mata yang tanpa sadar membuat Cara harus melangkah mundur ke belakang.

Perlahan Galang melangkah masuk,  masih menatap Cara dengan begitu dingin dan acuh. Matanya melirik ranjang pengantin yang telah dihias dengan indahnya. Seakan sedang menunggu dua pengantin baru ini menunaikan kewajibannya di malam pertama. Tapi tentu saja itu tidak akan terjadi.

Galang tidak akan pernah sudi menyentuh perempuan yang tidak ia sukai. Sama tidak sudinya berada satu ruangan dengan perempuan yang tidak dicintainya. Karena itu hanya menatap Cara dengan cara yang persis sama seperti ia memandang sebutir kerikil di jalan, ingin menendangnya sejauh-jauhnya. Atau rumput liar yang tidak sedap dipandang, yang tidak sabar ingin dicabutnya dari bidang penglihatannya.

Pernikahan ini bukan kemauannya, tapi keinginan ibunya. Dan sebagai 'anak yang berbakti' tentu saja ia harus menurut. Meski untuk itu ia harus mengorbankan perasaannya, meninggalkan wanita yang dicintainya dan mengubur dalam-dalam kebahagiaannya sendiri.

Apa istimewanya perempuan ini hingga ibunya begitu ingin ia bersanding dengannya? Apa hebatnya perempuan ini hingga bisa membuat ibunya jatuh sakit, bahkan sampai parah hanya untuk menyatukan anak lelaki bungsunya dengan perempuan ini?

Oke, Cara memang cantik karena ia memiliki separuh darah Belanda dari ibunya. Tapi demi Tuhan, jika hanya sekedar cantik. Galang bisa mendapatkan perempuan yang sepuluh kali lipat lebih cantik dari Cara. Bukankah Elia juga cantik? Dan ia bahkan lulusan S1 dengan predikat magna cum laude di antara mahasiswa angkatannya. Wanita anggun dan dewasa yang pandai membawa diri. Bukan bocah perempuan yang baru berusia 19 tahun!

Apa yang membuat ibunya sampai bertekuk lutut pada gadis ingusan ini? Galang tidak mengerti, benar-benar tidak mengerti!

"Ada sesuatu hal yang mau aku katakan sama kamu sebelumnya, Cara. Sebelum nantinya kita menjalankan kehidupan sebagai suami istri. Yang tinggal dalam satu atap yang sama."

Tanpa sadar Cara meremas ujung baju kebayanya dengan gelisah. Ia bukan perempuan bodoh. Ia bisa merasakan nada dingin dan apatis dalam suara Galang. Bahkan udara di sekelilingnya begitu mencekik, membuat Cara sulit untuk bernapas.

"Aku bisa memberikan apa yang biasa dilakukan seorang suami pada istrinya. Berciuman, berpelukan dan bahkan ... sex. Aku bisa melakukan semua itu padamu, jika itu yang kamu mau. Tapi ada satu yang tidak bisa aku berikan padamu, yaitu cinta. Karena cinta di hatiku sudah habis kuberikan pada satu perempuan. Dan itu bukan kamu.

"Jadi jangan pernah berharap aku akan mencintaimu, menjadi milikmu. Jangan pernah berharap, meski dalam mimpimu sekalipun. Karena itu sesuatu yang mustahil akan terjadi. Apa kamu mengerti, Cara Solandra?"

Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Cara. Perempuan itu hanya menunduk ketika mendengar semua yang diucapkan Galang. Karena memang tidak perlu dan Galang juga tidak butuh jawaban darinya. Mereka berdua tahu, ini adalah pernikahan yang di dasari tanpa cinta. Jadi apalagi yang harus diharapkan?

Dan Galang tidak menunggu sampai Cara menjawab, ia segera berbalik dan meninggalkan Cara seorang diri di kamar pengantin mereka.

Ia bahkan tidak peduli bila tubuh Cara gemetar saat mendengar ucapannya. Tidak peduli rasa sakit yang melumuri wajah nan cantik itu. Tidak peduli dengan dua tetes air mata yang kini berubah menjadi isak tangis memilukan.

Cara bersimpuh di lantai yang dingin, di dalam kamar pengantin yang terhias indah. Kamar pengantin yang dingin dan sunyi itu seakan sedang mengejeknya. Mengejek impiannya yang terlalu muluk tentang memiliki keluarga, suami yang mencintainya dan pria yang bersedia hidup bersama dengannya. Hingga maut memisahkan mereka.

Mimpi yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Karena nyatanya saat ini, ia telah ditinggalkan seorang diri. Oleh pria yang baru beberapa saat yang lalu resmi menjadi suaminya.

Pria itu meninggalkannya sendiri, dengan isak pilu yang tidak mau reda. Mungkin di dunia ini, Cara adalah satu-satunya perempuan paling malang di dunia. Dicampakan suaminya sendiri di malam pernikahan mereka, karena suaminya telah mencintai perempuan lain.

Rasanya ada yang terluka, remuk dan hancur. Di suatu bagian terdalam di tubuhnya. Ada rasa sakit yang mengucurkan darah, hanya saja ia tidak tahu bagaimana cara menghentikannya.

Yang Cara tahu, air mata tidak pernah mau berhenti mengalir dari matanya. Meski ia sudah mencoba menghentikannya. Seperti ada yang menusuk jantungnya. Dan itu sangat sakit, sakit sekali.

**Oke, beb. Saya tahu masih banyak cerita saya yang belum tamat eh sudah publish cerita baru lagi. Minta di tampol emang ini penulisnya wkwk ... Habis gimana dong, kayaknya saya gak bisa tidur kalau belum nulis cerita ini.

Doakan saya deh biar rajin update dan gak terbelit kesibukan sebagai ibu rumah tangga. Percayalah beb, tugas ibu rumah tangga tuh ngak ada habisnya ya. Mana ngak dapet gaji dan cuti lagi wkwk ...

Padahal cerita kayak gini mah udah banyak banget ya, udah mainstream banget. Tapi ya sudahlah, meski serupa tapi tak sama. Halah, masa iya?

Hehehe... saya harap kalian suka dan bisa diterima lah cerita saya ini. Peluk cium dari jauh.❤️

Love in the RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang